Kamis, 16 Juni 2011

HIV PADA ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DAN ANAK TERINFEKSI HIV/AIDS
Oleh
Maria Sulanty D.Heret S.Kep,Ns
A. Konsep penyakit HIV, pengkajian, dan masalah keperawatan ( Pendekatan Proses Keperawatan).
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS adalah sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas selular. Penurunan imunitas biasanya diikuti dengan peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunitis serta penyakit keganasan.
Terjadinya penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor-faktor yang penting untuk menjadi perhatian tenaga kesehatan adalah adanya stressor psikososial. Reaksi pertama kali yang ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak ( deniel) dan tidak percaya ( disbelief). Penderita HIV beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan mereka merupakan pasien sepanjang hidupnya.

B. Perjalanan penyakit.
Perjalanan HIV/AIDS di bagi dalam dua fase :
1) Fase infeksi awal proses infeksi ( imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR;sel T; IL-2R); serum atau humoral ( beta-2 mikroglobulin, neopterin,CD8,IL-R);
Dan antibody upregulation ( gp 120,anti p24;igA)(kam,1996). Induksi sel T- helper dan sel-sel lain diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel factor sistem imun agar tetap berfungsi dengan baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium yang lebih lanjut.
2) Fase infeksi lanjut
Fase ini disebut dengan imunodefisiensi, karena dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya factor supresi berupa antibody terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin, sehingga sel T tidak mampu memberikan respon terhadap mitogen dan terjadi disfungsi imunyang ditandai dengan penurunan kadar CD4+, Sitokin, antibody down regulation, TNF, dan anti nef ( Kam, 1996).





Tabel 1.
Klasifikasi klinis dan CD4 pada pasien remaja dan orang dewasa menurut CDC ( Depkes,2003)
CD4 Kategori klinis
Total % A(Asimtomatis, Infeksi Akut B
(simtomatis) C
(AIDS)
≥500/ml ≥29% A1 B1 C1
200-499 14-28% A2 B2 C2
<200 <14% A3 B3 C3 Pembagian stadium : 1. Stadium pertama : HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti dengan terjadinya perubahan serologis ketika antibody terhadap virus tersebut berubah dari negative menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody terhadap HIV menjadi positif disebut dengan window period adalah antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan. 2. Stadium kedua : Asimptomatis ( tanpa gejala). Asimptomatis berarti bahwa di dalam organ tubuh terhadap HIV, tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala apapun. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. 3. Stadium ketiga : pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata ( persistent Generalized Lymphadenopathy). Hal ini tidak dapat muncul pada satu tempat saja dan berlangsung lebih dari satu bulan. 4. Stadium keempat : AIDS itu tempat saja dan berlangsung lebih satu bulan. Keadaan ini disertai dengan adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit saraf, penyakit infeksi sekunder. Gejala klinis pada stadium AIDS antara lain : Gejala utama/ mayor : a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan. b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus. c. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam tiga bulan. Gejala minor : a. Batuk kronis selam lebih dari satu bulan. b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur candida albicons. c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh. d. Munculnya herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh. Tabel.2 4 tahap derajat infeksi HIV Fase Derajat 1 Infeksi HIV primer 2 HiV dengan defisiensi imun dini ( CD4+ >500/µl).
3 Adanya HIV dengan defisiensi imun yang sedang (CD4+: 200-500/µl)
4 HIV dengan defisiensi imun yang berat (CD4+ <200/µl) disebut dengan AIDS. Sehingga menurut CDC Amerika (1993), pasien masuk dalam kategori AIDS bila CD4+ < 200/µl. Tabel.3 Klasifikasi klinis infeksi HIV menurut WHO ( Depkes, 2003). Stadium Gambaran klinis Skala aktivitas I II III IV 1. Asimptomatis 2. Limfadenopati generalisata. 3. Berat badan menurun < 10% 4. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti, dermatitis seboroik, pririgo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, dan kheilitis angularis. 5. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir. 6. Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterialis. 7. Berat badan menurun > 10%.
8. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
9. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
10. Kandidiasis orofaringeal
11. Oral hairy leukoplakia
12. TB paru dalam tahun terakhir
13. Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis.

14. HIV wasting syndrome seperti yang didefenisikan oleh CDC.
15. Pneumonia pneumocystis carinii.
16. Toksoplasmosis otak.
17. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan.
18. Kriptokokosis ekstrapulmonal.
19. Retinitis virus sitomegalo.
20. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan
21. Leukoensefalopati multifocal progresif.
22. Mikosis desiminata seperti histoplasmosis.
23. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru.
24. Mikobakteriosis atipikal desiminata.
25. Septisemia salmonelosis nontifoid
26. Tuberkolosis di luar paru.
27. Limfoma
28. Sarcoma Kaposi
29. Ansefalopati HIV
Asimptomatis, aktivitas normal

Simptomatis, aktivitas normal









Pada umunya lemah, aktivitas di tempat tidur kurang dari 50%.








Pada umumnya sangat lemah,aktivitas di tempat tidur lebih dari 50%.
C. Aspek Imunitas
Secara imunitas, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper yang disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampu HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secra tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang di sebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya, bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan mebran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membrane. Pada bagian inti tersebut terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polymerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polymerase menyusun kopi DNA dan RNA tersebut, sementara enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polymerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cekatan ( Stewart, 1997, Baratawidjaja,2000).
Kode genetic DNA berupa untai ganda setelah terbentuk akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian bereplikasi, sehingga menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis.
Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel epitel pada usus, dan sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada kelenjar limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit.. Efek dari infeksi pada sel microglia di otak adalah encepalopati, sementara pada sel epitel usus adalah diare yang kronis ( Stewart,1997).
Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut tersebut biasanya baru disadari oleh pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl setelah terinfeksi selama 2-10 tahun.

D. Aspek psikososial
Aspek psikososial menurut Stewart(1997) di bedakan menjadi 3 aspek, yaitu :
1. Stigma social yang memperparah depresi dan pandangan yang negative tentang harga diri pasien dan keluarga.
2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan untuk bekerja dan hidup serumah, juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien yang homoseksual , penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurangnya dukungan social. Hal ini akan memperparah kondisi pasien.
3. Respon psikologis yang memerlukan waktu yang lama mulai dari penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stress yang alami.
E. Intervensi
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dan intervensi keperawatan tekan sebanyak 90%. Apbila ibu mendapatkan terapi antiretroviral selama kehamilan. Dengan demikian, pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak menjadi penting, karena sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur dan lebih dari 90% kasus ditularkan dari ibu.(Depkes,2003).
Alasan pentingnya pencegahan penularan HIV dari ibu ODHA ke bayi :
Sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur.
Lebih dari 90% kasus HIV pada anak ditularkan dari ibunya pada masa perinatal.
Anak yang dilahirkan akan menjadi yatim piatu.
Anak yang terinfeksi HIV mengalami gangguan tumbuh kembang.
Stigmatisasi dan mungkin terjadi pada anak tersebut.
a. Strategi pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak.
WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi (Depkes,2003) yaitu :
1. Mencegah jangan sampai ada wanita yang terinfeksi HIV ( pencegahan primer).
2. Apabila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan.
3. Apabila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya.
4. Apabila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
b. Pencegahan primer.
Hal yang terutama dalam pencegahan primer bagi petugas kesehatan adalah mengikuti kaidah-kaidah universal standar yang ada. Sementara ibu-ibu yang sehat perlu mengubah perilaku hidup seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yaitu : A = abstinence (tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan) ; B = Be Faithful ( setia kepada pasangan); dan C = Condom ( pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan).
Penerapan universal precaution harus dilakukan oleh petugas kesehatan dalam melaksanakan asuhan kepada semua pasien. Hal ini berarti bahwa semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV atau kuman-kuman penyakit yang lain. Transfuse darh haruslah memakai darah atau komponen darah yang sudah dinyatakan bebas HIV untuk dan untuk operasi berencana diupayakan untuk menggunakan transfuse darah autologis ( dari darah sendiri).
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu ODHA ke janinnya.
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin/bayinya meliputi 4 hal, yaitu mulai saat hamil, saat melahirkan dan setelah melahirkan dan setelah melahirkan ( Depkes, 2003 : 86). :
1. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan.
2. Penggunaan retroviral saat persalinan dan bayi yang harus dilahirkan.
3. Penanganan obstetric selama persalinan.
4. Penatalaksanaan saat menyusui.
d. Penggunaan antiretroviral untuk ibu mencegah penularan HIV dan ibu ke bayinya. Di Indonesia dan Negara berkembang lainnya, ART yang dianjurkan untuk mencegah penularan dari ibu ke janin/bayinya diantaranya adalah :
1. Nevirapine mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, dan ekonomis (Depkes,2003). Factor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relative mahal dan para prinsipnya ARV harus dibedakan seumur hidup. Efek samping neverapine meliputi ruam pada kulit, sindrom steven –Jhonson, peningkatan serum aminotransferase, dan hepatitis. Aturan dosis yang dianjurkan :
• Ibu : diberikan neveripine 200 mg dosis tunggal saat persalinan.
• Bayi : 2 mg/kgBB dosis tunggal sebelum umur 3 hari ( dalam 72 jam pertama setelah lahir).
2. AZT
Regimen ini lebih efektif untuk menurunkan risiko penularan dari ibu ke bayi (90%), tetapi lebih mahal karena perlu terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Dosis yang dianjurkan untuk ibu hamil adalah 36 mg;AZT diberikan 2x 300mg/hari dan 300mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung.
e. Cara persalinan yang disarankan dalm pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan bedah Caesar tetapi juga tidak melarangnya mengingat kondisi masing-masing daerah berbeda dan perlu pertimbangan mengenai biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan dan komplikasi akibat imunitas ibu yang rendah. Bedah ceasar dilakukan bila ada indikasi obstetric. Hindari partus lama dan tindakan infasif, amniotomi, ekstrasi vakum, ekstrasi cunam, dan anlisis gas darah bayi.
f. Perhatian pascapersalinan
Menurur depkes (2003) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan perawat setelah ibu melahirkan bayinya yaitu :
a. Kontrasepsi
Waktu paling lambat yang dianjurkan untuk kontrasepsi adalh 4 minggu setelah ODHA melahirkan. Jenis kontrasepsi adalah tidak spesifik, karena secara umum adalah sama.
b. Menyusui
Ibu yang positif HIV sebaiknya tidak menyusui bayinya karena dapat terjadi penularan sebesar 10-20%,apalagi bila payudara lecet atau radang. Pemberian ASI secara eksklusif selama 4-6 bulan pertama mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat infeksi selain HIV. Cara lain untuk menghindari penularan HIV adalah dengan menghangatkan ASI di suhu 66ºc.(Depkes,2003). Pemberian PASI sebaiknya menggunakan cangkir dan bukan botol. Makanan campuran (susu, makanan, jus dan air) tidak diperkenankan karena meningkatkan resiko penularan dan meningkatkan angka kematian bayi.
c. Terapi antiretroviral dan imunisasi.
ART( Anti retroviral Therapy) menjadi semakin penting setelah ibu melahirkan karena ibu harus memelihara anaknya sampai cukup besar. Tanpa ART dikhawatirkan umur ibu tidak cukup panjang. Bayi juga harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat .tes HIV sudah harus dikerjakan saat bayi berumur 18 tahun.


2. Intervensi keperawatan pada bayi dan anak.
a. Pemberian ART
Tujuan pemberian ART :
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV
2. Memeperbaiki mutu hidup
3. Memulihkan dan memelihara fungsi kesehatan
4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama.
ARV ( Anti Retro Viral) bekerja langsung menghambat replikasi (penggandaan diri) HIV dan beberapa kombinasi obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)agar menjadi sangat rendah atau berada di bawah tingkat yang dapt terdeteksi untuk jangka waktu yang lama.
Tiga golongan ARV yang tersedia di Indonesia ( Depkes,2003)
Jenis Cara kerja dan manfaat
1. Nucleoside Reverse Transriptase Inhibitor (NRTI) Menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini di perlukan agar virus dapat bereplikasi. Golongan obat ini meliputi : Zidovudin (ZDV,AZT), lamivudin (3TC); didanose (ddl); Zalcitabine (ddC); Stavudin (d4T) dan abacavir (ABC).
2. Non-Nucleosida Reverse Transriptase Inhibitor (NNRTI) Manfaat sama dengan NNRTI. Jenis golongan ini neveapine(NVP); efavirenz (EFV); dan delavirdine(DLV).
3. Protease Inhibitor (PI) Menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Jenis golongan obat ini adalah Indinavir (NFV); saquinavir (SQV);ritonavir (RTV); amprenavir (APV) dan Lopinavir(LPV).
Indikasi pemberian ARV :
1. Infeksi HIV telah dikonfirmasi dengan tes antibody
2. Keluarga dan orang tua telah mendapat informasi yang lengkap dengan persyaratan tertentu.
3. Indikasi laboratorium atau klinis :
 HIV stadium IV criteria WHO tanpa perhatikan jumlah CD4+
 Tes CD4+ : di bawah 200
 Jika tes CD4+ tidak dapat dilakukan, ART sebaiknya di mulai jika infeksi HIV memenuhi klasifikasi klinis stadium II dan III, dengan limfosit total di bawah :200
b. Asuhan nutrisi pada ODHA (Bayi dan Anak).
Asuhan nutrisi pada ODHA merupakan komponenyang penting dalam membantu mempertahankan keadaan sakitnya. ODHA akan menglami penurunan Berat Badan yang dratis dan hal ini berkaitan dengan kekurangan nutrisi atau gizi. Penyebab kurang gizi bersifat multifaktorial, antara lain hilangnya nafsu makan, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran pencernaan, hilangnya cairan tubuh akibat muntah dan diare dan gangguan metabolism ( steward,1997). Kehilangan berat Badan tidak dapt dihindarkan sebagai konsekuensi dari infeksi HIV.
Asuhan nutrisi dan terapi ARV pada ODHA adalah sangat penting. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opurtunistik. Sebaliknya penggunaan ARV dapat menyebabkan gangguan gizi.
1. Tujuan asuhan Nutrisi dan Gizi
Tujuan asuhan gizi bagi ODHA adalah mempertahankan kesehatan dan status gizi serta meningkatkan kekebalan tubuh, sehingga kualitas hidup akan lebih baik.
2. Paket asuhan Nutrisi
a. Pemantauan status nutrisi
b. Intervensi atau pemberian nutrisi/gizi
c. Konseling nutrisi

1. Pemantauan status nutrisi
Pemantauan status nutrisi dapat dilakukan menggunakan ABCD yaitu :
Antropometri, Bimechemical data, clinical Sign dan Symptoms
2. Pemberian nutrisi/gizi
3. Konseling nutrisi/gizi
c. Asuhan pada anak dengan Paliatif dan terminal ( pendekatn Psikososial).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar