Kamis, 16 Juni 2011

HIV PADA ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DAN ANAK TERINFEKSI HIV/AIDS
Oleh
Maria Sulanty D.Heret S.Kep,Ns
A. Konsep penyakit HIV, pengkajian, dan masalah keperawatan ( Pendekatan Proses Keperawatan).
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS adalah sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas selular. Penurunan imunitas biasanya diikuti dengan peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunitis serta penyakit keganasan.
Terjadinya penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor-faktor yang penting untuk menjadi perhatian tenaga kesehatan adalah adanya stressor psikososial. Reaksi pertama kali yang ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak ( deniel) dan tidak percaya ( disbelief). Penderita HIV beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan mereka merupakan pasien sepanjang hidupnya.

B. Perjalanan penyakit.
Perjalanan HIV/AIDS di bagi dalam dua fase :
1) Fase infeksi awal proses infeksi ( imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR;sel T; IL-2R); serum atau humoral ( beta-2 mikroglobulin, neopterin,CD8,IL-R);
Dan antibody upregulation ( gp 120,anti p24;igA)(kam,1996). Induksi sel T- helper dan sel-sel lain diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel factor sistem imun agar tetap berfungsi dengan baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium yang lebih lanjut.
2) Fase infeksi lanjut
Fase ini disebut dengan imunodefisiensi, karena dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya factor supresi berupa antibody terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin, sehingga sel T tidak mampu memberikan respon terhadap mitogen dan terjadi disfungsi imunyang ditandai dengan penurunan kadar CD4+, Sitokin, antibody down regulation, TNF, dan anti nef ( Kam, 1996).





Tabel 1.
Klasifikasi klinis dan CD4 pada pasien remaja dan orang dewasa menurut CDC ( Depkes,2003)
CD4 Kategori klinis
Total % A(Asimtomatis, Infeksi Akut B
(simtomatis) C
(AIDS)
≥500/ml ≥29% A1 B1 C1
200-499 14-28% A2 B2 C2
<200 <14% A3 B3 C3 Pembagian stadium : 1. Stadium pertama : HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti dengan terjadinya perubahan serologis ketika antibody terhadap virus tersebut berubah dari negative menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody terhadap HIV menjadi positif disebut dengan window period adalah antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan. 2. Stadium kedua : Asimptomatis ( tanpa gejala). Asimptomatis berarti bahwa di dalam organ tubuh terhadap HIV, tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala apapun. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. 3. Stadium ketiga : pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata ( persistent Generalized Lymphadenopathy). Hal ini tidak dapat muncul pada satu tempat saja dan berlangsung lebih dari satu bulan. 4. Stadium keempat : AIDS itu tempat saja dan berlangsung lebih satu bulan. Keadaan ini disertai dengan adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit saraf, penyakit infeksi sekunder. Gejala klinis pada stadium AIDS antara lain : Gejala utama/ mayor : a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan. b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus. c. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam tiga bulan. Gejala minor : a. Batuk kronis selam lebih dari satu bulan. b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur candida albicons. c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh. d. Munculnya herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh. Tabel.2 4 tahap derajat infeksi HIV Fase Derajat 1 Infeksi HIV primer 2 HiV dengan defisiensi imun dini ( CD4+ >500/µl).
3 Adanya HIV dengan defisiensi imun yang sedang (CD4+: 200-500/µl)
4 HIV dengan defisiensi imun yang berat (CD4+ <200/µl) disebut dengan AIDS. Sehingga menurut CDC Amerika (1993), pasien masuk dalam kategori AIDS bila CD4+ < 200/µl. Tabel.3 Klasifikasi klinis infeksi HIV menurut WHO ( Depkes, 2003). Stadium Gambaran klinis Skala aktivitas I II III IV 1. Asimptomatis 2. Limfadenopati generalisata. 3. Berat badan menurun < 10% 4. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti, dermatitis seboroik, pririgo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, dan kheilitis angularis. 5. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir. 6. Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterialis. 7. Berat badan menurun > 10%.
8. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
9. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
10. Kandidiasis orofaringeal
11. Oral hairy leukoplakia
12. TB paru dalam tahun terakhir
13. Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis.

14. HIV wasting syndrome seperti yang didefenisikan oleh CDC.
15. Pneumonia pneumocystis carinii.
16. Toksoplasmosis otak.
17. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan.
18. Kriptokokosis ekstrapulmonal.
19. Retinitis virus sitomegalo.
20. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan
21. Leukoensefalopati multifocal progresif.
22. Mikosis desiminata seperti histoplasmosis.
23. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru.
24. Mikobakteriosis atipikal desiminata.
25. Septisemia salmonelosis nontifoid
26. Tuberkolosis di luar paru.
27. Limfoma
28. Sarcoma Kaposi
29. Ansefalopati HIV
Asimptomatis, aktivitas normal

Simptomatis, aktivitas normal









Pada umunya lemah, aktivitas di tempat tidur kurang dari 50%.








Pada umumnya sangat lemah,aktivitas di tempat tidur lebih dari 50%.
C. Aspek Imunitas
Secara imunitas, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper yang disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampu HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secra tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang di sebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya, bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan mebran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membrane. Pada bagian inti tersebut terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polymerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polymerase menyusun kopi DNA dan RNA tersebut, sementara enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polymerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cekatan ( Stewart, 1997, Baratawidjaja,2000).
Kode genetic DNA berupa untai ganda setelah terbentuk akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian bereplikasi, sehingga menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis.
Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel epitel pada usus, dan sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada kelenjar limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit.. Efek dari infeksi pada sel microglia di otak adalah encepalopati, sementara pada sel epitel usus adalah diare yang kronis ( Stewart,1997).
Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut tersebut biasanya baru disadari oleh pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl setelah terinfeksi selama 2-10 tahun.

D. Aspek psikososial
Aspek psikososial menurut Stewart(1997) di bedakan menjadi 3 aspek, yaitu :
1. Stigma social yang memperparah depresi dan pandangan yang negative tentang harga diri pasien dan keluarga.
2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan untuk bekerja dan hidup serumah, juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien yang homoseksual , penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurangnya dukungan social. Hal ini akan memperparah kondisi pasien.
3. Respon psikologis yang memerlukan waktu yang lama mulai dari penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stress yang alami.
E. Intervensi
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dan intervensi keperawatan tekan sebanyak 90%. Apbila ibu mendapatkan terapi antiretroviral selama kehamilan. Dengan demikian, pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak menjadi penting, karena sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur dan lebih dari 90% kasus ditularkan dari ibu.(Depkes,2003).
Alasan pentingnya pencegahan penularan HIV dari ibu ODHA ke bayi :
Sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur.
Lebih dari 90% kasus HIV pada anak ditularkan dari ibunya pada masa perinatal.
Anak yang dilahirkan akan menjadi yatim piatu.
Anak yang terinfeksi HIV mengalami gangguan tumbuh kembang.
Stigmatisasi dan mungkin terjadi pada anak tersebut.
a. Strategi pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak.
WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi (Depkes,2003) yaitu :
1. Mencegah jangan sampai ada wanita yang terinfeksi HIV ( pencegahan primer).
2. Apabila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan.
3. Apabila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya.
4. Apabila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
b. Pencegahan primer.
Hal yang terutama dalam pencegahan primer bagi petugas kesehatan adalah mengikuti kaidah-kaidah universal standar yang ada. Sementara ibu-ibu yang sehat perlu mengubah perilaku hidup seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yaitu : A = abstinence (tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan) ; B = Be Faithful ( setia kepada pasangan); dan C = Condom ( pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan).
Penerapan universal precaution harus dilakukan oleh petugas kesehatan dalam melaksanakan asuhan kepada semua pasien. Hal ini berarti bahwa semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV atau kuman-kuman penyakit yang lain. Transfuse darh haruslah memakai darah atau komponen darah yang sudah dinyatakan bebas HIV untuk dan untuk operasi berencana diupayakan untuk menggunakan transfuse darah autologis ( dari darah sendiri).
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu ODHA ke janinnya.
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin/bayinya meliputi 4 hal, yaitu mulai saat hamil, saat melahirkan dan setelah melahirkan dan setelah melahirkan ( Depkes, 2003 : 86). :
1. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan.
2. Penggunaan retroviral saat persalinan dan bayi yang harus dilahirkan.
3. Penanganan obstetric selama persalinan.
4. Penatalaksanaan saat menyusui.
d. Penggunaan antiretroviral untuk ibu mencegah penularan HIV dan ibu ke bayinya. Di Indonesia dan Negara berkembang lainnya, ART yang dianjurkan untuk mencegah penularan dari ibu ke janin/bayinya diantaranya adalah :
1. Nevirapine mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, dan ekonomis (Depkes,2003). Factor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relative mahal dan para prinsipnya ARV harus dibedakan seumur hidup. Efek samping neverapine meliputi ruam pada kulit, sindrom steven –Jhonson, peningkatan serum aminotransferase, dan hepatitis. Aturan dosis yang dianjurkan :
• Ibu : diberikan neveripine 200 mg dosis tunggal saat persalinan.
• Bayi : 2 mg/kgBB dosis tunggal sebelum umur 3 hari ( dalam 72 jam pertama setelah lahir).
2. AZT
Regimen ini lebih efektif untuk menurunkan risiko penularan dari ibu ke bayi (90%), tetapi lebih mahal karena perlu terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Dosis yang dianjurkan untuk ibu hamil adalah 36 mg;AZT diberikan 2x 300mg/hari dan 300mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung.
e. Cara persalinan yang disarankan dalm pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan bedah Caesar tetapi juga tidak melarangnya mengingat kondisi masing-masing daerah berbeda dan perlu pertimbangan mengenai biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan dan komplikasi akibat imunitas ibu yang rendah. Bedah ceasar dilakukan bila ada indikasi obstetric. Hindari partus lama dan tindakan infasif, amniotomi, ekstrasi vakum, ekstrasi cunam, dan anlisis gas darah bayi.
f. Perhatian pascapersalinan
Menurur depkes (2003) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan perawat setelah ibu melahirkan bayinya yaitu :
a. Kontrasepsi
Waktu paling lambat yang dianjurkan untuk kontrasepsi adalh 4 minggu setelah ODHA melahirkan. Jenis kontrasepsi adalah tidak spesifik, karena secara umum adalah sama.
b. Menyusui
Ibu yang positif HIV sebaiknya tidak menyusui bayinya karena dapat terjadi penularan sebesar 10-20%,apalagi bila payudara lecet atau radang. Pemberian ASI secara eksklusif selama 4-6 bulan pertama mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat infeksi selain HIV. Cara lain untuk menghindari penularan HIV adalah dengan menghangatkan ASI di suhu 66ºc.(Depkes,2003). Pemberian PASI sebaiknya menggunakan cangkir dan bukan botol. Makanan campuran (susu, makanan, jus dan air) tidak diperkenankan karena meningkatkan resiko penularan dan meningkatkan angka kematian bayi.
c. Terapi antiretroviral dan imunisasi.
ART( Anti retroviral Therapy) menjadi semakin penting setelah ibu melahirkan karena ibu harus memelihara anaknya sampai cukup besar. Tanpa ART dikhawatirkan umur ibu tidak cukup panjang. Bayi juga harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat .tes HIV sudah harus dikerjakan saat bayi berumur 18 tahun.


2. Intervensi keperawatan pada bayi dan anak.
a. Pemberian ART
Tujuan pemberian ART :
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV
2. Memeperbaiki mutu hidup
3. Memulihkan dan memelihara fungsi kesehatan
4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama.
ARV ( Anti Retro Viral) bekerja langsung menghambat replikasi (penggandaan diri) HIV dan beberapa kombinasi obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)agar menjadi sangat rendah atau berada di bawah tingkat yang dapt terdeteksi untuk jangka waktu yang lama.
Tiga golongan ARV yang tersedia di Indonesia ( Depkes,2003)
Jenis Cara kerja dan manfaat
1. Nucleoside Reverse Transriptase Inhibitor (NRTI) Menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini di perlukan agar virus dapat bereplikasi. Golongan obat ini meliputi : Zidovudin (ZDV,AZT), lamivudin (3TC); didanose (ddl); Zalcitabine (ddC); Stavudin (d4T) dan abacavir (ABC).
2. Non-Nucleosida Reverse Transriptase Inhibitor (NNRTI) Manfaat sama dengan NNRTI. Jenis golongan ini neveapine(NVP); efavirenz (EFV); dan delavirdine(DLV).
3. Protease Inhibitor (PI) Menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Jenis golongan obat ini adalah Indinavir (NFV); saquinavir (SQV);ritonavir (RTV); amprenavir (APV) dan Lopinavir(LPV).
Indikasi pemberian ARV :
1. Infeksi HIV telah dikonfirmasi dengan tes antibody
2. Keluarga dan orang tua telah mendapat informasi yang lengkap dengan persyaratan tertentu.
3. Indikasi laboratorium atau klinis :
 HIV stadium IV criteria WHO tanpa perhatikan jumlah CD4+
 Tes CD4+ : di bawah 200
 Jika tes CD4+ tidak dapat dilakukan, ART sebaiknya di mulai jika infeksi HIV memenuhi klasifikasi klinis stadium II dan III, dengan limfosit total di bawah :200
b. Asuhan nutrisi pada ODHA (Bayi dan Anak).
Asuhan nutrisi pada ODHA merupakan komponenyang penting dalam membantu mempertahankan keadaan sakitnya. ODHA akan menglami penurunan Berat Badan yang dratis dan hal ini berkaitan dengan kekurangan nutrisi atau gizi. Penyebab kurang gizi bersifat multifaktorial, antara lain hilangnya nafsu makan, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran pencernaan, hilangnya cairan tubuh akibat muntah dan diare dan gangguan metabolism ( steward,1997). Kehilangan berat Badan tidak dapt dihindarkan sebagai konsekuensi dari infeksi HIV.
Asuhan nutrisi dan terapi ARV pada ODHA adalah sangat penting. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opurtunistik. Sebaliknya penggunaan ARV dapat menyebabkan gangguan gizi.
1. Tujuan asuhan Nutrisi dan Gizi
Tujuan asuhan gizi bagi ODHA adalah mempertahankan kesehatan dan status gizi serta meningkatkan kekebalan tubuh, sehingga kualitas hidup akan lebih baik.
2. Paket asuhan Nutrisi
a. Pemantauan status nutrisi
b. Intervensi atau pemberian nutrisi/gizi
c. Konseling nutrisi

1. Pemantauan status nutrisi
Pemantauan status nutrisi dapat dilakukan menggunakan ABCD yaitu :
Antropometri, Bimechemical data, clinical Sign dan Symptoms
2. Pemberian nutrisi/gizi
3. Konseling nutrisi/gizi
c. Asuhan pada anak dengan Paliatif dan terminal ( pendekatn Psikososial).

KONSEP BERMAIN PADA ANAK

KONSEP BERMAIN PADA ANAK
By : Maria Sulanti D.Heret S.Kep,Ns
A. KONSEP BERMAIN.
1. PENGERTIAN.
Bemain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan social, dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata(berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukan, mengenal waktu, jarak serta suara(Wong,2000).
Bermain merupakan aspek penting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang paling efektif untuk menurunkan stress pada anak, dan penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak.(Champbell dan Glaser,1995).
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa bermain adalah kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa yang dapat menurunkan stress anak, media yang baik bagi anak untuk belajar berkomunikasi dengan lingkungannya, menyesuaikan diri terhadap lingkungan, belajar mengenal dunia sekitar kehidupannya dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta social anak.
2. FUNGSI BERMAIN PADA ANAK.
Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensorik-motorik, perkembangan intelektual, perkembangan social, perkembangan kreatifitas,perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral, dan bermain sebagai terapi.
1. Perkembangan sensorik motorik.
Aktivitas sensorik dan motorik merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya, alat permainan yang digunakan untuk bayi yang mengembangkan kemampuan sensorik motorik dan alat permainan untuk anak usia toddler dan prasekolah yang banyak membantu perkembangan aktivitas motorik baik kasar maupun halus.
2. Perkembangan intelektual
Pada saat bermain, anak melakumbedakan eksploitasi dan manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur, dan membedakan objek.
3. Perkembangan social
Perkembangan social ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan social dan belajar memesahkan masalah dari hubungan tersebut. Hal ini terjadi terutama pada anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian, anak usia toddler dan prasekolah adalah tahapan awal bagi anak untuk meluaskan aktivitas sosialnya di luar lingkungan keluarga.
4. Perkembangan kreatifitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan mewujudkannya ke dalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain anak akan belajar dan mencoba merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang kreativitasnya untuk semakin berkembang.
5. Perkembangan kesadaran diri
Melalui bermain, anak akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain.
6. Perkembangan moral
Anak mempelajari nilai dasar dan salah dari lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Denagan melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapat kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya. Melalui kegiatan bermain anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.
7. Bermain sebagai terapi
Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stresorr yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permaianan anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenanganya melakukan permainan. Dengan demkian permainan adalah media komunikasi antara anak dengan orang lain, termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan di rumah sakit. Perawat dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi nonverbal yang ditunjukkan selama melakukan permainan atau melalui interaksi yang ditunjukan anak dengan orang tua dan teman kelompok bermainnya.
3. TUJUAN BERMAIN.
Melalui fungsi yang terurai diatasnya, pada prinsipnya bermain mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Walaupun demikian, selama anak dirawat di rumah sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan masih harus tetap dilanjutkan untuk menjaga kesinambungannya.
b. Mengekspresikan perasaan, keiginan, dan fantasi serta ide-idenya. Seperti yang telah di uraikan diatas pada saat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Pada anak yang belum dapat mengekspresikannya.
c. Mengembangkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah. Permainan akan menstimulasi daya piker, imajinasi, fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. Pada saat melakukan permainan, anak juga akan dihadapkan pada masalah dalam konteks permainannya, semakin lama ia bermain dan semakin tertantang untuk dapat menyelesaikannya dengan baik.
d. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit dan dirawat di rumah sakit. Stress yang dialami anak dirawat di rumah sakit tidak dapat dihindarkan sebagaimana juga yang dialami orang tua. Untuk itu yang penting adalah bagaimana menyiapkan anak dan orang tua untuk dapat beradaptasi dengan stressor yang dialaminya di rumah sakit secara efeAKTORktif. Permainan adalah media yang efektif untuk beradaptasi karena telah terbukti dapat menurunkan rasa cemas, takut, nyeri dan marah.
4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKTIVITAS BERMAIN
Ada 5 faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak yaitu tahap pertumbuhan dan perkembangan anak, status kesehatan anak, jenis kelamin anak, lingkungan yang mendukung, serta alat dan jenis permainan yang cocok atau sesuai bagi anak.
a. Tahap perkembangan anak
Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya permainan anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Permainan adalah stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian, orang tua dan perawat harus mengetahui dan memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak.


b. Status kesehatan anak
Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energy. Walaupun demikian, bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa. Yang terpenting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak terkena sakit bahkan dirawat di rumah sakit orang tua dan perawat harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang di rawat di rumah sakit.
c. Jenis kelamin anak
Ada beberapa pandangan tentang konsep gender dlm kaitannya dengan permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.untuk mengembangkan daya piker, imajinatif, kreativitas, dan kemampuan social anak. Akan tetapi ada pendapat lain yang meyakini bahwa permainan adalah salah satu untuk membantu anak mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki.
d. Lingkungan yang mendukung
Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk perkembangan anak salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya dan lingkungan fisik rumah. Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan, mondar-mandir, berlari, melompat, dan bermain dengan teman sekelompoknya.
e. Alat dan jenis permainan yang cocok
Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk anak. Label yang tertera pada permainan harus di baca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan tersebut sesuai dengan usia anak. Alat permainan tidak selalu harus yang dibeli di took atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulasi imajinasi dan kreativitas anak, bahkan sering kali disekitar kehidupan anak , akan lebih merangsang anak untuk kreatif. Alat permainan yang harus didorong, ditarik, dan dimanipulasi, akan mengajarkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan koordinasi alat gerak. Permainan membantu anak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengenal norma dan aturan serta interkasi social dengan orang lain.

5. KLASIFIKASI BERMAIN
a. Berdasarkan isi permainan
1) Social affective play
Inti permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan mendapatkan kesenagan dan kepuasan dari hubungan yang menyenangkan dengan orang tuanya dan/atau orang lain.permainan yang biasa dilakukan adalah “ciluk ba” berbicara sambil tersenyum/tertawa, atau sekedar memberikan tangan pada bayi dan menggenggamnya tetapi dengan diiringi berbicara sambil tersenyum dan tertawa.
2) Sense of pleasure play
Permainan ini menggunakan alat yang dapat menimbulkan rasa senang pada anak dan biasanya mengasyikan. Misalnya, dengan menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunung atau benda-benda apasaja yang dapat dibentuknya dengan pasir. Bias juga dengan menggunakan air anak akan melakukan macam-macam permainan, misalnya memindahkan air ke botol, bak atau tempat lain. Ciri khas permainan ini adalah anak akan semakin lama semakin asyik bersentuhan dengan alat permainan ini dan dengan permainan yang dilakukan sehingga susah dihentikkan.
3) Skill play
Sesuai dengan sebutannya, permainan ini akan meningkatkan ketrampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalkan bayi akan trampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dan anak trampil naik sepeda.
4) Games atau permainan
Games atau permainan adalah jenis permainan yang menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan dan/skor. Permainan ini bias dilakukan oleh anak sendiri dan/ atau temannya. Banyak sekali jenis permainan ini mulai dari yang sifatnya tradisional maupun yang modern. Misalnya : ular tangga, congkla, puzzle,dll.
5) Unoccupied behavior
Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja atau apa saja yang ada disekelilingnya. Jadi, sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan tertentu, dan situasi atau objek yang ada disekelilingnya yang digunakannnya sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira dan asyik dengan situasi serta lingkungannya tersebut.
6) Dramatic play
Sesuai dengan sebutannya pada permainan ini anak memainkan peran sebagai orang lain melalui permainan. Anak berceloteh sambil berpakaian meniru orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakanya, dan sebagainya yang ia tiru.

b. Berdasarkan karakter soaial
1) Onlooker play
Pada jenis permainan ini anak hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam permainan, jadi, anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temanya.
2) Solitary play
Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok permainan tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya, dan alat permainan tersebut berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya, tidak ada kerja sama, atau komunikasi dengan teman sepermainan.
3) Parallel play
Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat permainan yang sama, tetapi antara satu anak dengan anak yang lain tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak yang satu dengan anak yang lain tidak ada sosialisasi satu sama lain. Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak usia toddler.
4) Assosiatif play
Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak dengan anak yang lain, tetapi tidak terorganisasi tidak ada pemimpin atau yang memimpin permainan, dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh bermain boneka, bermain hujan-hujanan, bermain masak-masakan.
5) Cooperative play
Aturan permainan dlam kelompok tampak lebih jelas pada permainan jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan. Anak yang memimpin permainan mengatur dan mengarahkan anggotanya,untuk bertindak dalam permainan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam permainan tersebut. Misalnya, pada permainan sepak bola.
c. Berdasarkan kelompok usia anak
1) Anak usia bayi
Bayi usia 0-3 bulan.seperti yang disinggung pada uraian sebelumnya karakteristik khas permainan bagi usia bayi adalah adanya interaksi social yang menyenangkan antara bayi dan orang tua dan atau orang dewasa sekitarnya. Selain itu, perasaan senang juga menjadi cirri khas dan permainan untuk bayi usia ini. Alat permainan yang biasa digunakan misalnya mainan gantung yang berwarna terang dan bunyi music yang menarik.
Bayi usia 4-6 bulan. Untuk menstimulasi penglihatan dapat dilakukan permainan seperti mengajak bayi menonton TV, member mainan yang mudah dipeganggnya dan berwarna terang, serrta dapat pula dengan cara member cermin dan meletakkan bayi di depannya sehingga memungkinkan bayi dapat melihat bayangan di cermin.stimulasi pendengaran dapat dilakukan dengan cara selalu membiasakan memanggil namaya. Untuk stimulasi taktil berikan mainan yang dapat digenggamnya lembut dan lentur, atau pada saat memandikan biar bayi bermain air di dalam bak mandi.
Bayi usia 7-9 bulan. Untuk stimulasi penglihatan dapat dilakukan dengan memberikan mainan yang berwarna terang atau berikan kepadanya kertas dan alat tulis biarkan ia mencoret-coret sesuai keinginannya.
2) Anak usia toddler(>1 tahun-3tahun)
Anak usia toddler kegiatan belajar menunjukan karakteristik yang khas yaitu banyak bergerak, tidak bias diam, dan mulai mengembangkan otonomi dan kemampuannya untuk dapat mandiri.jenis permainan yang tepat dipilih untuk anak usia toddler adalah solitary play dan parallel play.
3) Anak usia pra sekolah (>3 tahun-6 tahun)
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak usia prasekolah mempunyai kemampuan motorik kasar dan halus yang lebih matang daripada anak usia toddler.anak sudah lebih aktif, kreatif dan imajinatif. Demikian juga kemampuan berbicara dan berhubungan social dengan temannya semakin meningkat. Oleh karena itu jenis permainan yang sesuai adalah associative play, dramatic play, dan skill play.
4) Anak usia sekolah(6-12tahun)
Karakteristik permainan untuk anak usia sekolah dibedakan menurut jenis kelaminnya. Anak laki-laki tepat jika diberikan mainan jenis mekanik yang akan menstimulasi kemampuan kreativitasnya dalam berkreasi sebagai seorang laki-laki misalnya mobil-mobilan. Ank perempuan lebih tepat diberikan permainan yang dapt menstimulasi untuk mengembangkan perasaan, pikiran, dan sikapnya dalam menjalankan peran sebagai seorang perempuan, misalnya alat untuk memasak dan boneka.
5) Anak usia remaja (13-18 tahun)
Melihat karakteristik ank remaja demikian, mereka perlu mengisi kegiatan yang konstruktif, misalnya dengan melakukan permainan berbagai macam olahraga, mendengar, dan atau bermain music serta melakukan kegiatan organisasi remaja yang positif serta kelompok basket, sepak bola, karang taruna dan lain-lain.prinsipnya, kegiatan bermain bagi anak remaja tidak hanya sekedar mencari kesenagan dan meningkatkan perkembangan fisiemosional, tetapi juga lebih kearah menyalurkan minat. Bakat, aspirasi, serta membantu remaja untuk menemukan identitas pribadinya. Untuk itu alat permainan yang tepat bias berupa berbagai macam alat olahraga, alat music, dan alat gambar atau lukis.
6. PRINSIP-PRINSIP DALAM AKTIVITAS BERMAIN
Soetjiningsih (1995) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agara aktivitas bermain bisa menjadi stimulus yang efektif sebagai mana berikut ini :
a. Perlu ekstra energy
Bermain memerlukan energy yang cukup, sehingga anak memerlukan nutrisi yang memadai.asupan ( intake ) yang kurang dapat menurunkan gairah anak.anak yang sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik bermain aktif maupun bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan atau jenuh.
Pada anak yang sakit, keinginan untuk bermain umumnya menurun karena energy yang digunakan untuk mengatasi penyakitnya. Aktivitas bermain anak sakit yang bias dilakukan adalah bermain pasif, misalnya : menonton tv, mendengarkan music dan menggambar
b. Waktu yang cukup
Anak harus mempunyai waktu yang cukup waktu untuk bermain sehingga stimulus yang diberikan dapat optimal.selain itu, anak akan mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengenal alat – alat permainanya.
c. Alat permainan
Alat permainan yang digunakan harus disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan anak. Orang tua hendaknya memperhatikan hal ini, sehingga alat permainan yang diberikan dapat berfungsi dengan benar. Yang perlu diperhatikan adalah alat permainan tersebut harus aman dan mempunyai unsure edukatif bagi anak.
d. Ruang untuk bermain
Aktivitas bermain dapat dilakukan dimana saja, diruang tamu, dihalaman bahkan diruang tidur. Diperlukan suatu ruanganan atau tempat khhusus untuk bermain bila memungkinkan, dimana ruangan tersebut sekaligus juga dapat menjadi tempat untuk menyimpan mainanya.
e. Pengetahuan cara bermain
Anak belajar bermain dari mencoba – coba sendiri, meniru teman – temannya atau diberitahu oleh orang tuanya. Cara yang terakhir adalah yang terbaik karena anak lebih terarah dan lebih berkembang pengetahuannya dalam menggunakan alat permainan tersebut. Orang tua yang tidak pernah mengetahui cara bermain dari alat permainan yang diberikan umumnya membuat hubungannya dengan anak cenderung menjadi kurang hangat.
f. Teman bermain
Dalam bermain, anak memerlukan bisa teman sebaya, saudara, atau orang tuanya. Ada saat – saat tertentu dimana anak bermain sendiri agar dapat menemukan kebutuhannya sendiri. Bermain yang dilakukan bersama dengan orang tuanya akan mengakrabkan hubungan dan sekaligus memberikan kesempatan kepada orang tua untuk mengetahui setiap kelainan yang dialami oleh anaknya.
7. ALAT PERMAINAN EDUKATIF
Alat permainan edukatif ( APE ) adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak sesuai dengan usia dan tingkat perkembangannya dan yang berguna untuk perkembangan aspek fisik, bahasa, kognitif, dan social anak (soetjningsih, 1995)
Agar orang tua dapat memberikan alat permainan yang edukatif pada anaknya, syarat – syarat berikut ini yang perlu diperhatikan adalah :
a. Keamanan
Alat permainan untuk anak dibawah umur 2 tahun hendaknya tidak terlalu kecil, cat tidak beracun, tidak ada bagian yang tajam, dan tidak mudah pecah, karena pada usia ini anak kadang – kadang suka memasukkan benda kedalam mulut.
b. Ukuran dan berat
Prinsipnya, mainan tidak membahayakan dan sesuai dengan usia anak. Apabila mainan terlalu besar atau berat, anak akan sukar menjangkau atau memindahkannya. Sebaliknya, bila terlalu kecil, mainan akan mudah tertelan.
c. Desain
APE sebaiknya mempunyai desain yang sederhana dalam hal ukuran, susunan, ukuran dan warna serta jelas maksud dan tujuannya. Selain itu, APE hendaknya tidak terlalu rumit untuk menghindari kebingungan anak.
d. Fungsi yang jelas
APE sebaiknya mempunyai fungsi yang jelas untuk menstimuli perkembangan anak.
e. Variasi APE
APE sebaiknya dapat dimainkan secara bervariasi (dapat dibongkar pasang), namun tidak terlalu sulit agar anak tidak frustasi dan tidak terlalu mudah, karena anak akan cepat bosan.
f. Universal
APE sebaiknya mudah diterima dan dikenali oleh semua budaya dan bangsa. Jadi, dalam menggunakannya, APE mempunyai prinsip yang bisa dimengerti oleh semua orang.
g. Tidak mudah rusak, mudah didapat dan terjangkau oleh masyarakat luas
Karena APE berfungsi sebagai stimulus untuk perkembangan anak, maka setiap lapisan masyarakat, baik yang dengan tingkat social ekonomi tinggi maupun rendah, hendaknya dapat menyediakannya. APE bias didesain sendiri asal memenuhi persyaratan.

8. BERMAIN UNTUK ANAK YANG DIRAWAT DIRUMAH SAKIT
Perawatan anak dirumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan stress, baik bagi anak maupun orang tua. Beberapa bukti ilmiah, menunjukkan bahwa lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stress bagi anak dan orang tuanya, baik lingkungan fisik rumah sakit seperti bangunan/ruang rawat, alat-alat, bau yang khas, pakaian putih petugas kesehatan maupun lingkungan social, seperti sesama pasien anak, ataupun interaksi dan sikap petugas kesehatan itu sendiri. Perasaan, seperti takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan yang tidak menyenangkan lainnya, sering kali dialami anak
Untuk itu, anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaan tersebut dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan selama dalam perawatan.media yang paling efektif adalah melalui kegiatan permainan. Permainan yang teraupetik didasari oleh pandangan bahwa bermain bagi anak merupakan aktivitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan tumbuh kembang anak dan memungkinkan untuk dapat menggali dan mengekspresikan perasaan dan pikiran anak, mengalihkan parasaan nyeri, dan relaksasi. Dengan demikian, kegiatan bermain harus menjadi bagian integral dan pelayanan kesehatan anak dirumah sakit (Brennan, 1994).
Aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak di rumah sakit akan memberikan keuntungan sebagai berikut :
1) Meningkatkan hubungan antara klien ( anak keluaarga ) dan perawat karena dengan melaksanakan kegiatan bermain, perawat mempunyai kesempatan untuk membina hubungan yang baik dan menyenangkan dengan anak dan keluarganya. Bermain merupakan alat komunikasi yang elektif antara perawat dank klien.
2) Perawatan dirumah sakit akan membatasi kemampuan anak untuk mandiri. Aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada anak.
3) Permainan pada anak dirumah sakit tidak hanya akan memberikan rasa senang pada anak, tetapi juga akan membantu anak mengekspresikan perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang, dan nyeri. Pada beberapa anak yang belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran secara verbal dan/ atau pada anak yang kurang dapat mengekspresikannya, permainan menggambar, mewarnai, atau melukis akan membantunya mengekspresikan perasaan tersebut.
4) Permainan yang terupetik akan dapat meningkatkan kemampuan anak untuk mempunyai tingkah laku yang positif.
5) Permainan yang memberikan kesempatan pada beberapa anak untuk berkompetisi secara sehat, akan dapat menurunkan ketegangan pada anak dan keluarganya.
Prinsip – prinsip permainan pada anak di rumah sakit :
1) Permainan Tidak boleh bertentangan dengan terapi dan perawatan yang sedang dijalankan pada anak. Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat dilakukan ditempat tidur dan anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya ditempat bermain khusus yang ada diruang rawat. Misalnya, sambil tiduran anak dapat dibacakan buku cerita atau diberikan buku komik anak-anak, mobil-mobilan yang tidak pakai remote control, robot-robotan, dan permainan lain yang dapat dimainkan anak dan orang tuanya sambil tiduran.
2) Tidak membutuhkan energy yang banyak, singkat dan sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan alat permainan yang ada pada anak dan/atau yang tersedia diruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat permainan, pilih yang sederhana, supaya tidak melelahkan anak (misalnya, menggambar / mewarnai, bermain boneka dan membaca buku cerita )
3) Harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari – lari dan bergerak secara berlebihan.
4) Dilakukan pada kelompok umur yang sama. Apabila permainan dilakukan khusus di kamar bermain secara berkelompok dirumah, permainan harus dilakukan pada kelompok umur yang sama. Misalnya, permainan mewarnai pada kelompok usia prasekolah.
5) Melibatkan orang tua. Orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat dirumah sakit termasuk dalam aktivitas bermain anaknya. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan diinisiasi oleh perawat orang tua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak dari awal permainan sampai mengevaluasi permainan anak bersama dengan perawat dan orang tua anak lainnya.


Pedoman dalam menyusun rancangan program bermain pada anak yang di rawat di rumah sakit :
a. Tujuan bermain
Tetapkan tujuan bermain bagi anak sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan bermain mengacu pada tahapan tumbuh kembang anak, sedangkan tujuan yang ditetapkan harus memperhatikan prinsip bermain bagi anak di rumah sakit, yaitu menekankan pada upaya ekspresi sekaligus relaksasi dan distraksi dari perasaan takut, cemas, sedih, tegang dan nyeri
b. Proses kegiatan bermain
Kegiatan bermain yang dijalankan mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila permainan yang akan dilakukan dalam kelompok, uraikan dengan jelas aktivitas setiap anggota kelompok dalam permainan dan kegiatan orang tua setiap anak.
c. Alat permainan yang diperlukan
Gunakan alat permainan yang dimiliki anak atau yang tersedia di ruang rawat. Apabila anak akan diajak bermain melipat kertas, gunakan bahan yang murah dan haga yang terjangkau.
d. Pelaksanaan kegiatan bermain
Selama kegiatan bermain, respon anak dan orang tua harus diobservasi dan menjadi catatan penting bagi perawat, bahkan apabila tampak adanya
e. Evaluasi atau penilaian

EKG PADA ANAK

EKG Pada Anak

A. Pengertian
Elektrokardiografi (EKG) merupakan sarana untuk membuat suatu diagnosa penyakit yang mempengaruhi sistem kerja jantung. Alat ini dapat merekam bioelekrik yang keluar dari jantung. Elektrokardiografi yang merupakan hasil rekaman, alat ini dapat menunjukkan adanya dan perubahan-perubahan bioelektrik yang dikeluar oleh jantung.
Penerapan EKG tidak lepas dari ilmu anatomi dan gaya listrik yang dikeluarkan oleh jantung. Keberadaan EKG sangat diperlukan untuk mendiagnose suatu penyakit sehingga didapat data yang akurat mengenai jenis dari penyakit dengan meneliti ada-tidaknya gangguan irama jantung dan keluhan nyeri pada dada penderita / klien.
EKG pada anak dapat digunakan untuk membantu mendiagnose penyakit jantung kongenital, demam-reumatik, penyakit jantung-reumatik, difteri, dan juga memperjelas komplikasi suatu penyakit tertentu kedalam jantung misalnya gastroenteritis yang menimbulkan takhikardi supraventrikuler, hipokalemi, dan beberapa penyakit lainnya.

B. Sifat Listrik Jantung
Depolarisasi merupakan reaksi kontraksi yang disebabkan oleh perubahan listrik. Perubahan ini dapat dideteksi dengan memasang suatu elektroda pada permukaan tubuh pasien. Karena otot atrium relativ lebih tipis, sehingga perubahan listrik yang muncul akibat kontraksinya juga kecil. Kontraksi atria menimbulkan gelombang P. Sedangkan otot ventrikel lebih tebal, maka defleksi gelombang EKG juga besar, yang disebut dengan QRS. Sedangkan gelombang T muncul akibat kembalinya otot ventrikel ke keadaan listrik istirahat (repolarisasi).








Grafik
Pada satu sel serabut otot sebelah dalamnya bermuatan negative (-), sedangkan permukaan luarnya bermuatan positive (+). Beda potensial ini setelah diukur dengan elektroda ternyata ada sekitar – 90 mV. Jika suatu galvanometer dihubungkan pada dua (2) titik dipermukaan otot yang sedang istirahat, ternyata tidak adaperbedaan potensial, karena semua titik pada sebelah luar sel yang tidak dirangsang potensialnya sama.

C. Diagram Listrik Jantung








Diagram
Arus listrik pada setiap kali siklus jantung bermula dari daerah tertentu di- atrium kanan. Daerah itu disebut dengan simpul SA. Setelah depolarisasi, kemudian diikuti dengan penyebaran listrik keserabut otot atrium. Terjadi keterlambatan, sementara depolarisasi menyebar ke daerah tertentu di atrium yang disebut dengan simpul AV (atrioventricular). Setelah itu penghantaran berlangsung cepat, menurun menuju jaringan khusus untuk penghantaran yang disebut “berkas His”. Selanjutnya memecah ke dua arah disekat antara atrium-ventrikel, satu menuju kearah kanan, dan lainnya ke arah kiri. Berkas His kiri sendiri terpecah menjadi dua. Didalam serabut otot ventrikel penghantaran listrik menjalar secara cepat melalui jaringan khusus yang disebut “serabut Purkinye”
Rekaman EKG perlu dibuat bila diduga ada perubahan-perubahan pada keadaan mekanik, struktural, maupun biokimia pada jantung penderita. Indikasi ini dapat berupa sebagai berikut :
 Gangguan irama, misal akstrasistole
 Kelainan jantung bawaan
 Persangkaan adanya gangguan elektrolit
 Radang miokard dan perikard
 Desregulasi
 Hipertiroid
 Gagal ginjal
 Bising jantung
 Sinkopabnormalitas genetik

D. Bentuk Komplek QRS
Gelombang depolarisasi menyebar kesegala arah di jantung pada saat yang bersamaan, sedangkan arah rata-rata gerakan tersebut ditunjukkan oleh defleksi komplek QRS.
Bila QRS dominan ke atas (gelombang R lebih besar daripada S) berarti depolarisasi bergerak mendekati sedapan.
Sebaliknya apabila lebih dominan kebawah (gelombang S lebih besar daripada R) berarti depolarisasi bergerak menjauh.

Sedangkan bila gelombang depolarisasi bergerak pada sudut tegak lurus dengan sadapan maka R sama dengan S.

Panjang kompleks QRS diukur dari gelombang Qke akhir gelombang S. Pada anak-anak biasanya QRS lebih pendek daripada orang dewasa.
Sampai umur sebelum 3 tahun < 0,08 detik
Sampai umur sebelum 8 tahun < 0,09 detik
Umur sesudah 8 tahun < 0,10 detik
Kompleks QRS yang lebar, lebih lebar dari 0,10 detik merupakan petunjuk adanyahambatan konduksi intraventrikuler dan biasanya berarti bundle branch blok atau awal pacu berasal dari ventrikel.

ASKEP DBD PADA ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) /
DENGUE HEMORAGIK FEVER (DHF)


A. Pengertian
Demam Dengue (DD) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari*) dengan dua atau lebih manifestasi berikut : nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah, nyeri retro orbital, myalgia, atralgia, ruam kulit, hepatomegali *), manifestasi perdarahan *), dan lekopenia.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah kasus Demam Dengue dengan kecenderungan perdarahan dan manifestasi kebocoran plasma*).
Sindrom Syok Dengue (SSD)/ Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus Demam Berdarah Dengue disertai dengan manifestasi kegagalan sirkulasi / syok / renjatan *).


B. Etiologi
 Gigitan nyamuk Aedes Aigypti


C. Manifestasi klinik
Manifestasi perdarahan :
 Uji Tourniquet dinyatakan positif apabila > / ═ 10 petekie pada diameter 1 inci 2,5 cm.
 Petekie, ekimosis, atau purpura
 Perdarahan mukosa ( epistaksis, perdarahan gusi )
 Hematemesis, melena
 Trombositopenia < 100.000/mm³ *). Biasanya mulai hari ke 3 dan kembali normal 7 – 10 hari sejak permulaan sakit. Manifestasi kebocoran plasma :  Peningkatan hematokrit > / = 20 %
 Penurunan hematokrit > / = 20 % setelah pengobatan
 Efusi pleura, asites, edema palpebra, atau hipoproteinemia (khususnya albumin)
Manifestasi Syok :
 Nadi lemah / kecil dan cepat
 Tekanan nadi menurun (, 20 mmHg )
 Hipotensi sesuai umur
Hipotensi ditentukan dengan tekanan sistolik < 80 mmHg (10,7 kPa) bagi mereka dengan usia kurang dari 5 tahun, atau < 90 mmHg (12,0 kPa) bagi mereka yang berusia lebih atau sama dengan 5 tahun. (Monica Ester, 1999)  Kulit dingin dan lembab  Gelisah dan lemah  Kencing < 1 cc/ Kg BB/Jam ( Oliguria )  Perfusi jaringan menurun  Nafas cepat dan dalam  Kesadaran menurun (Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD, 1999) Kriteria DBD menurut WHO (WHO, 1997) : 1. Klinis :  Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari  Terdapat manifestasi perdarahan : RL tes positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena.  Pembesaran hati / hepatomegali  Syok 2. Laboratorium :  Trombositopenia (100.000 mm³ atau kurang)  Hemokonsentrasi : peningkatan hematokrit 20 % menurut standar umur dan jenis kelamin. Derajat DBD Derajat I : Demam disertai uji tourniquet positif Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan Derajat III : Derajat II disertai kegagalan sirkulasi / syok (hipotensi, akral dingin, tekanan nadi < 20 mmHg) Derajat IV : Derajat III disertai syok yang berat (profound syok) : nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur D. Patofisiologi Ada dua perubahan patofisiologi utama terjadi pada DBD / DSS. Pertama adalah peningkatan permeabilitas vascular yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen vascular. Keadaan ini mengakibat-kan hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah, dan tanda syok lain, bila ke-hilangan plasma sangat membahayakan. Perubahan kedua adalah gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vascular, trombositopenia, dan koagulopati. Temuan konstan pada DBD / DSS adalah aktivasi system komplemen, dengan depresi besar C3 dan C5. Mediator yang meningkatkan permeabilitas vascular dan mekanisme pasti fenomena perdarahan yang timbul pada infeksi dengue belum teridentifikasi. Kompleks imun telah ditemukan pada DBD tetapi peran mereka belum jelas. Defek trombosit terjadi baik kualitatif dan kuantitatif yaitu beberapa trombosit yang bersirkulasi selama fase akut DBD mungkin kelelahan (tidak mampu berfungsi normal). Karenanya, meskipun klien dengan jumlah trombosit lebih besar dari 100.0000 mm³ mungkin masih mengalami masa perdarahan yang panjang. Mekanisme yang dapat menunjang terjadinya DBD / DSS adalah peningkatan replikasi virus dalam makrofag oleh antibody heterotipik. Pada infeksi sekunder dengan virus dari serotip yang berbeda dari yang menyebabkan infeksi primer, antibody reaktif silang yang gagal untuk menetralkan virus dapat meningkatkan jumlah monosit terinfeksi saat kompleks antibody-virus dengue masuk ke dalam sel ini. Hal ini selanjutnya dapat mengakibatkan aktivasi reaktif silang CD4+ dan CD8+ limfosit sitotoksik. Pelepasan cepat sitokin yang disebabkan oleh aktivasi sel T dan oleh lisis monosit terinfeksi di media oleh limfosit sitotoksik yang dapat mengakibatkan rembesan plasma dan perdarahan yang terjadi pada DBD. (Monica Ester, 1999) Hipertermi PK : Syok Hipovolemia Kerusakan pertukaran gas Takut Rsk kelebihan volume cairan Defisit self care Cemas Ortu Fase-fase pada DBD : 1. Fase Inkubasi : 9-11 hari 2. Fase Akut : hari ke 1-3 3. Fase Kritis : hari 4-6 4. Fase Penyembuhan : hari 7-10 Apabila setelah hari ke 7 masih terjadi kenaikan suhu badan perlu dipikirkan 3 hal : 1. Proses pirogen : karena infuse terlalu lama 2. Proses alergi 3. Proses infeksi (Materi Pelatihan Keperawatan Profesional Dasar Anak, 2002) E. Komplikasi 1. Syok 2. Sepsis 3. Ensefalopati 4. Gagal Ginjal Akut 5. Edema pulmo 6. Perdarahan GIT 7. Perdarahan Intra Kranial 8. DIC (Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak IDAI, 2004) F. Pemeriksaan Penunjang 1. AT dan Hmt serial, Hb, Gol darah, CT, BT 2. Ro thorak : adakah efusi pleura 3. USG : kelainan vesika felea (Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak IDAI, 2004) G. Penatalaksanaan 1. Keperawatan a. Memonitor vital sign b. Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang c. Memonitor tanda dehidrasi dan overhidrasi d. Memonitor tanda-tanda syok e. Memonitor perdarahan dan kebocoran plasma f. Mengelola infuse dan tranfusi g. Memenuhi kebutuhan nutrisi h. Mengontrol dan mengatasi demam i. Tirah baring j. Mengelola pemberian oksigen jika diperlukan 2. Medis a. Terapi intravena : RL, Asering b. Tranfusi sesuai kebutuhan : plasma , trombosit, Whole Blood c. Antipiretik : paracetamol 10 mg/kg BB/pemberian. Tidak boleh diberikan aspirin, Proris / ibuprofen dapat memperberat trombositopenia d. Oksigenasi jika diperlukan e. Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati, atau jika ada infeksi sekunder H. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Identitas : umur, alamat (daerah endemis ?, lingkungan rumah / sekolah ada yang terkena DB ?) b. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian) : panas, muntah, epistaksis, perdarahan gusi 2) Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah sakit) : kapan mulai panas ? 3) Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh pasien) 4) Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik atau tidak) 5) Riwayat tumbuh kembang : adakah keterlambatan tumbuh kembang ? 6) Riwayat imunisasi c. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum : kesadaran, vital sign, status nutrisi (berat badan, panjang badan, usia) 2) Pemeriksaan persistem a) Sistem persepsi sensori :  Penglihatan : edema palpebra, air mata ada / tidak, cekung / normal  Pengecapan : rasa haus meningkat/tidak, lidah lembab / kering b) Sistem persyarafan : kesadaran, menggigil, kejang, pusing c) Sistem pernafasan : epistaksis, dispneu, kusmaul, sianosis, cuping hidung, odem pulmo, krakles d) Sistem kardiovaskuler : takikardi, nadi lemah dan cepat / tak teraba, kapilary refill lambat, akral hangat / dingin, epistaksis, sianosis perifer, nyeri dada e) Sistem gastrointestinal :  Mulut : membran mukosa lembab / kering, perdarahan gusi  Perut : turgor ?, kembung / meteorismus, distensi, nyeri, asites, lingkar perut ?  Informasi tentang tinja : warna (merah, hitam), volume, bau, konsistensi, darah, melena f) Sistem integumen : RL test (+) ?, petekie, ekimosis, kulit kering / lembab, perdarahan bekas tempat injeksi ? g) Sistem perkemihan : bak 6 jam terakhir, oliguria / anuria d. Pola Fungsi Kesehatan 1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : sanitasi ?, 2) Pola nutrisi dan metabolisme : anoreksia, mual, muntah 3) Pola eleminasi a) Bab : frekuensi, warna (merah ?, hitam ? ), konsistensi, bau, darah b) Bak : frekuensi, warna, bak 6 jam terakhir ?, oliguria, anuria 4) Pola aktifitas dan latihan 5) Pola tidur dan istirahat 6) Pola kognitif dan perceptual 7) Pola toleransi dan koping stress 8) Pola nilai dan keyakinan 9) Pola hubungan dan peran 10) Pola seksual dan reproduksi 11) Pola percaya diri dan konsep diri 2. Diagnosa Keperawatan 1) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolic, dehidrasi, viremia 2) PK: Syok Hipovolemia b.d dengan kebocoran plasma, perdarahan, 3) Takut b.d prosedur pengambilan darah (cek AT dan Hmt serial), hospitalisasi. 4) Cemas orang tua b.d perkembangan penyakit anaknya 5) Defisit self care b.d kelemahan, sesak nafas 6) Kerusakan pertukaran gas b.d akumulasi cairan di rongga paru 7) Resiko kelebihan volume cairan Rencana Keperawatan 1. Hipertermi b.d, pening-katan metabolik, viremia Batasan karakteristik : - Suhu tubuh > nor-mal
- Kejang
- Takikardi
- Respirasi meningkat
- Diraba hangat
- Kulit memerah

Setelah dilakukan tindak-an perawatan selama … X 24 jam suhu badan pasien normal, dengan kriteria :

Termoregulasi (0800)
- Suhu kulit normal
- Suhu badan 35,9˚C- 37,3˚C
- Tidak ada sakit kepa-la / pusing
- Tidak ada nyeri otot
- Tidak ada perubahan warna kulit
- Nadi, respirasi dalam batas normal
- Hidrasi adequate
- Pasien menyatakan nyaman
- Tidak menggigil
- Tidak iritabel / gra-gapan / kejang

Pengaturan Panas (3900)
1. Monitor suhu sesuai kebutuhan
2. Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi
3. Monitor suhu dan warna kulit
4. Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipertermi
5. Anjurkan intake cairan dan nutrisi yang adekuat
6. Ajarkan klien bagaimana mencegah panas yang tinggi
7. Berikan obat antipiretik
8. Berikan obat untuk mencegah atau me-ngontrol menggigil

Pengobatan Panas (3740)
1. Monitor suhu sesuai kebutuhan
2. Monitor IWL
3. Monitor suhu dan warna kulit
4. Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi
5. Monitor derajat penurunan kesadaran
6. Monitor kemampuan aktivitas
7. Monitor leukosit, hematokrit, Hb
8. Monitor intake dan output
9. Monitor adanya aritmia jantung
10. Dorong peningkatan intake cairan
11. Berikan cairan intravena
12. Tingkatkan sirkulasi udara dengan kipas angin
13. Dorong atau lakukan oral hygiene
14. Berikan obat antipiretik untuk mencegah klien menggigil / kejang
15. Berikan obat antibiotic untuk mengobati penyebab demam
16. Berikan oksigen
17. Kompres dingin diselangkangan, dahi dan aksila.
18. Anjurkan klien untuk tidak memakai selimut
19. Anjurkan klien memakai baju berbahan dingin, tipis dan menyerap keringat

Manajemen Lingkungan (6480)
1. Berikan ruangan sendiri sesuai indikasi
2. Berikan tempat tidur dan kain / linen yang bersih dan nyaman
3. Batasi pengunjung

Mengontrol Infeksi (6540)
1. Anjurkan klien untuk mencuci tangan sebelum makan
2. Gunakan sabun untuk mencuci tangan
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah me-lakukan kegiatan perawatan klien
4. Ganti tempat infuse dan bersihkan sesuai dengan SOP
5. Berikan perawatan kulit di area yang odem
6. Dorong klien untuk cukup istirahat
7. Lakukan pemasangan infus dengan teknik aseptik
8. Anjurkan klien minum antibiotik sesuai advis dokter

2. PK: Syok hipovolemia b.d kebocoran plasma, perdarahan , dehidrasi









Setelah dilakukan tindak-an / penanganan selama 1 jam diharapkan klien mempunyai perfusi yang adekuat, dengan criteria :

Kriteria hasil :
- Amplitudo nadi perifer meningkat
- Pengisian kapiler singkat (< 2 detik) - Tekanan darah dalam rentang normal - CVP > atau = 5 cm H2O
- Frekuensi jantung teratur
- Berorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang
- Keluaran urin > atau = 30 ml/jam
- Akral hangat
- Nadi teraba
- Membran mukosa lembab
- Turgor kulit normal
- Berat badan stabil dan dalam batas normal
- Kelopak mata tidak cekung
- Tidak demam
- Tidak ada rasa haus yang sangat
- Tidak ada napas pen-dek /kusmaul

1. Kaji dan catat status perfusi perifer. Laporkan temuan bermakna : ekstremitas dingin dan pucat, penurunan amplitude nadi, pengisian kapiler lambat.
2. Pantau tekanan darah pada interval sering ; waspadai pada pembacaan lebih dari 20 mmHg di bawah rentang normal klien atau indicator lain dari hipotensi : pusing, perubahan mental, keluaran urin menurun.
3. Bila hipotensi terjadi, tempatkan klien pada posisi telentang untuk meningkatkan aliran balik vena. Ingat bahwa tekanan darah > atau = 80/60 mmHg untuk perfusi koroner dan arteri ginjal yang adekuat.
4. Pantau CVp (bila jalur dipasang) untuk menentukan keadekuatan aliran balik vena dan volume darah; 5-10 cm H2O biasanya dianggap rentang yang adekuat. Nilai mendekati 0 menunjukkan hipovolemia, khususnya bila terkait dengan keluaran urin menurun, vasokonstriksi, dan peningkatan frekuensi jantung yang ditemukan pada hipovolemia.
5. Observasi terhadap indicator perfusi serebral menurun : gelisah, konfusi, penurunan tingkat kesadaran. Bila indicator positif terjadi, lindungi klien dari cidera dengan meninggikan pengaman tempat tidur dan menempatkan tempat tidur pada posisi paling rendah. Reorientasikan klien sesuai indikasi.
6. Pantau terhadap indicator perfusi arteri koroner menurun : nyeri dada, frekuensi jantung tidak teratur.
7. Pantau hasil laboratorium terhadap BUN (>20 mg/dl) dan kreatinin (>1,5 mg/dl) meninggi ; laporkan peningkatan.
8. Pantau nilai elektrolit terhadap bukti ketidak seimbangan , terutama Natrium (>147 mEq/L) dan Kalium (>5 mEq/L). Waspadai tanda hiperkalemia : kelemahan otot, hiporefleksia, frekuensi jantung tidak teratur. Juga pantau tanda hipernatremia, retensi cairan dan edema.
9. Berikan cairan sesuai program untuk meningkatkan volume vaskuler. Jenis dan jumlah cairan tergantung pada jenis syok dan situasi klinis klien : RL, Asering
10. Siapkan untuk pemindahan klien ke ICU/PICU
(Keperawatan Medical Bedah : Swearingen : 1996)
3.








































Takut b.d prosedur pe-ngambilan darah, hos-pitalisasi, pengalaman / lingkungan yang kurang bersahabat. (00148)

Batasan karakteristik :
- Panik
- Teror
- Perilaku menghindar atau menyerang
- Impulsif
- Nadi, respirasi, TD sistolik meningkat
- Anoreksia
- Mual, muntah
- Pucat
- Stimulus sebagai ancaman
- Lelah
- Otot tegang
- Keringat meningkat
- Gempar
- Ketegangan me-ningkat
- Menyatakan takut
- Menangis
- Protes
- Melarikan diri









Setelah dilakukan tindak-an keperawatan selama … X 24 jam rasa takut klien berkurang, dengan criteria :

Fear control (1404) :
- Klien tidak menye-rang atau menghin-dari sumber yang menakutkan
- Klien menggunakan teknik relaksasi un-tuk mengurangi takut
- Klien mampu meng-ontrol respon takut
- Klien tidak melarika diri
- Durasi takut menu-run
- Klien kooperatif saat dilakukan perawatan dan pengobatan

Anxiety control (1402)
- Tidur pasien adekuat
- Tidak ada manifes-tasi fisik
- Tidak ada manifes--tasi perilaku
- Klien mau berinter-aksi sosial











Coping enhancement (5230)
1. Kaji respon takut klien : data objektif dan subyektif
2. Jelaskan klien / keluarga tentang proses penyakit
3. Terangkan klien / keluarga tentang semua pemeriksaan dan pengobatan
4. Sampaikan sikap empati (diam, mem-berikan sentuhan, mengijinkan menangis, berbicara dll)
5. Dorong orang tua untuk selalu menemani anak
6. Berikan pilihan yang realistic tentang aspek perawatan
7. Dorong klien untuk melakukan aktifitas social dan komunitas
8. Dorong penggunaan sumber spiritual
Anxiety Reduction (5820)
1. Jelaskan semua prosedur termasuk pe-rasaan yang mungkin dialami selama menjalani prosedur
2. Berikan objek yang memberikan rasa aman
3. Berbicara dengan pelan dan tenang
4. Membina hubungan saling percaya
5. Jaga peralatan pengobatan di luar penglihatan pasien
6. Dengarkan klien dengan penuh perhatian
7. Ciptakan suasana saling percaya
8. Dorong klien mengungkapkan perasaan, persepsi klien dan takut secara verbal
9. Berikan aktivitas/peralatan yang meng-hibur untuk mengurangi ketegangan
10. Anjurkan klien menggunakan teknik relaksasi
11. Anjurkan orang tua untuk membawakan mainan kesukaan dari rumah
12. Mengusahakan untuk tidak mengulang pengambilan darah
13. Libatkan orang tua dalam perawatan dan pengobatan
14. Berikan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung
4. Defisit self care berhu-bungan dengan kelemah-an
NOC:
Perawatan diri :
(mandi, Makan Toiletting, berpakaian)
Setelah diberi motivasi perawatan selama ….x 24 jam, klien mengerti cara memenuhi ADL secara bertahap sesuai kemam-puan, dengan indicator :
• Mengerti secara seder-hana cara mandi, ma-kan, toileting, dan ber-pakaian serta mau men-coba secara aman tanpa cemas
• Klien mau berpartisipasi dengan senang hati tanpa keluhan dalam me-menuhi ADL NIC: Membantu perawatan diri klien Mandi dan toiletting
Aktifitas:
1. Tempatkan alat-alat mandi ditempat yang mudah dikenali dan mudah dijangkau klien
2. Libatkan klien dan dampingi
3. Berikan bantuan selama klien masih mampu mengerjakan sendiri
NIC: ADL Berpakaian
Aktifitas:
1. Informasikan pada Klien dalam memilih pakaian selama perawatan
2. Sediakan pakaian di tempat yg mudah di jangkau
3. Bantu berpakaian yang sesuai
4. Jaga privcy klien
5. Berikan pakaian pribadi yg digemari dan sesuai

NIC: ADL Makan
1. Anjurkan duduk dan berdo’a bersama teman
2. Dampingi saat makan
3. Bantu jika klien belum mampu dan beri contoh
4. Beri rasa nyaman saat makan
5. Cemas orang tua b.d perkembangan penyakit anaknya (perdarahan, lemah, rewel, sesak na-fas, gelisah)

Batasan karakteristik :
- Orang tua sering bertanya
- Orang tua meng-ungkapkan perasaan cemas
- Khawatir
- Kewaspadaan me-ningkat
- Mudah tersinggung
- Gelisah
- Wajah tegang, me-merah
- Kecenderungan me-nyalahkan orang lain

Setelah dilakukan tindak-an keperawatan selama … X pertemuan kece-masan orang tua berku-rang, dengan kriteria :

Anxiety control (1402)
- Tidur adekuat
- Tidak ada manifest-tasi fisik
- Tidak ada manifest-tasi perilaku
- Mencari informasi untuk mengurangi cemas
- Menggunakan teknik relaksasi untuk me-ngurangi cemas
- Berinteraksi social

Aggression Control (1401)
- Menghindari kata yang meledak-ledak
- Menghindari perila-ku yang merusak
- Mampu mengontrol verbal

Coping (1302)
- Mampu mengidenti-fikasi pola koping yang efektif dan tidak efektif
- Mampu mengontrol verbal
- Melaporkan stress / cemasnya berkurang
- Mengungkapkan me-nerima keadaan
- Mencari informasi berkaitan dengan pe-nyakit dan pengo-batan
- Memanfaatkan du-kungan social
-
Anxiety control (1402)
- Tidur adekuat
- Tidak ada manifest-tasi fisik
- Tidak ada manifest-tasi perilaku
- Mencari informasi untuk mengurangi cemas
- Menggunakan teknik relaksasi untuk me-ngurangi cemas
- Berinteraksi social

Aggression Control (1401)
- Menghindari kata yang meledak-ledak
- Menghindari perila-ku yang merusak
- Mampu mengontrol verbal

Coping (1302)
- Mampu mengidenti-fikasi pola koping yang efektif dan ti-dak efektif
- Mampu mengontrol verbal
- Melaporkan stress / cemasnya berkurang
- Mengungkapkan me-nerima keadaan
- Mencari informasi berkaitan dengan pe-nyakit dan pengo-batan
- Memanfaatkan du-kungan sosial


Coping enhancement (5230)
1. Kaji respon cemas orang tua
2. Jelaskan orang tua tentang proses penyakit anaknya
3. Jelaskan orang tua tentang prosedur pemeriksaan, perawatan dan pengobatan
4. Beritahu dan jelaskan setiap perkem-bangan penyakit anaknya
5. Dorong penggunaan sumber spiritual

Anxiety Reduction (5820)
1 Jelaskan semua prosedur termasuk pera-saan yang mungkin dialami selama men-jalani prosedur
2 Berikan objek yang dapat memberikan ra-sa aman
3 Berbicara dengan pelan dan tenang
4 Membina hubungan saling percaya
5 Dengarkan dengan penuh perhatian
6 Ciptakan suasana saling percaya
7 Dorong orang tua mengungkapkan pera-saan, persepsi dan cemas secara verbal
8 Berikan peralatan / aktivitas yang meng-hibur untuk mengurangi ketegangan
9 Anjurkan untuk menggunakan teknik re-laksasi
10 Berikan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung




DAFTAR PUSTAKA

- Arif Mansjoer dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI Jakarta, 2000
- Budi Santosa, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006, Prima Medika
- Dina Kartika S, Pediatricia, Tosca Enterprise, Yogyakarta, 2005
- Fakultas Kedokteran UGM, Demam Berdarah Dengue : Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalamTatalaksana Kasus DBD, Yogyakarta, 1999
- Hardiono D. Pusponegoro dkk, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, IDAI, 2004
- Helen Lewer, Learning to Care on the Paediatric Ward : terjemahan, EGC Jakarta, 1996
- Joanne C. McCloskey, Nursing Intervention Classification (NIC), Mosby-Year Book, 1996
- Judith M. Wilkinson, Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Intervention and NOC Outcomes, Upper Saddle River, New Jersey, 2005
- Joyce Engel, Pocket Guide to Pediatric Assesment : terjemahan, EGC, 1998
- Marion Johnson, Nursing Outcomes Classification (NOC), Mosby-Year Book, 2000
- Monica Ester, Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian : terjemahan WHO 1997, EGC Jakarta, 1999
- Swearingen, Pocket Guide to Medical-Surgical Nursing : terjemahan, EGC, 2000
- Tri Atmadja DS, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, RSUD Wates, 2001
- ---------------------, Kumpulan Materi Pelatihan Keperawatan Profesional Dasar A nak, RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, 2002
- --------------------, Kumpulan Materi Pelatihan Paediatrik Intensive Care Unit, RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, 2005
MANAJEMEN NYERI DALAM SUATU TATANAN TIM MEDIS
MULTI DISIPLIN

A. PENDAHULUAN
Keluhan nyeri merupakan keluahan yang paling umum kita temukan/dapatkan ketika kita sedang melakukan tugas kita sebagai bagian dari tim kesehatan, baik itu di tataran pelayanan rawat jalan maupun rawat inap, yang karena seringnya keluhan itu kita temukan kadang kala kita sering menganggap hal itu sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup memberikan hasil yang memuaskan di mata pasien.
Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi dan perilaku, sehingga dalam penangananyapun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, untuk itu pemahaman tentang nyeri dan penanganannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan, terutama perawat yang dalam rentang waktu 24 jam sehari berinteraksi dengan pasien.

B. DEFINISI
Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah “ suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan “, dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka (injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya.
Pada tahun 1999, the Veteran’s Health Administration mengeluarkan kebijakan untuk memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima, jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu tubuh, nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri.
Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai “konsep yang abstrak” yang merujuk kepada sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari bahaya.
McCaffery (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri “ apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika dia mengatakan hal itu ada “.

C. TIPE NYERI
Pada tahun 1986, the National Institutes of Health Consensus Conference on Pain mengkategorisasikan nyeri menjadi tiga tipe yaitu Nyeri akut merupakan hasil dari injuri akut, penyakit atau pembedahan, Nyeri kronik non keganasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif dan Nyeri kronik keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang progresif.

D. RESPON TERHADAP NYERI
Respon terhadap nyeri meliputi respon fisiologis dan respon perilaku. Untuk nyeri akut repon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanan darah (awal), peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, dan keringat dingin, respon perilakunya adalah gelisah, ketidakmampuan berkonsentrasi, ketakutan dan disstress. Sedangkan pada nyeri kronis respon fisiologisnya adalah tekanan darah normal, denyut nadi normal, respirasi normal, pupil normal, kulit kering, dan respon perilakunya berupa imobilisasi atau ketidak aktifan fisik, menarik diri, dan putus asa, karena tidak ditemukan gejala dan tanda yang mencolok dari nyeri kronis ini maka tugas tim kesehatan, perawat khususnya menjadi tidak mudah untuk dapat mengidentifikasinya..

E. HAMBATAN DALAM MEMBERIKAN MANAJEMEN NYERI YANG TEPAT
Menurut Blumenfield (2003), secara garis besar ada 2 hambatan dalam manajemen nyeri yaitu :
1. Ketakutan akan timbulnya adiksi
Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatanpun mempunyai asumsi akan terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri, adiksi sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik.
Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak. Toleransi adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama, sedangkan adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang dari suatu zat psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan.
Ketakutan tersebut akan lebih nyata pada pasien atau keluarga dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau zat psikoaktif lainnya, mereka biasanya takut untuk mendapatkan pengobatan nyeri dengan menggunakan analgetik apalagi bila obat itu merupakan golongan narkotika. Hal ini salah satunya disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan mengenai hal itu, sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan perawat semestinya mempunyai kapasitas yang cukup hal tersebut diatas.
2. Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri
Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan alasan yang paling umum yang memicu terjadinya manjemen nyeri yang tidak memadai tersebut, untuk itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga tercipta tenaga kesehatan yang handal, salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah dengan masuknya topik nyeri dalam modul PBL dalam pendidikan keperawatan, hal ini diharapkan dapat menjadi percepatan dalam pendidikan profesi keperawatan menuju kepada perawat yang profesional.
Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang menentukan dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus dilakukan baik pada saat awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat setelah intervensi, mengingat nyeri adalah suatu proses yang bersifat dinamik, sehingga perlu dinilai secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk menilai nyeri yaitu Simple Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale (VAS), Pain Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale serta 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale , diantara kelima metode tersebut diatas 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale yang paling sering digunakan, dimana pasien diminta untuk “merating” rasa nyeri tersebut berdasarkan skala penilaian numerik mulai angka 0 yang berarti tidak da nyeri sampai angka 10 yang berarti puncak dari rasa nyeri, sedangkan 5 adalah nyeri yang dirasakan sudah bertaraf sedang.

F. PENANGANAN NYERI
1. Manajemen nyeri non farmakologik.
Pendekatan non farmakologik biasanya menggunakan terapi perilaku (hipnotis, biofeedback), pelemas otot/relaksasi,akupuntur, terapi kognitif (distraksi), restrukturisasi kognisi, imajinasi dan terapi fisik.
Nyeri bukan hanya unik karena sangat berbeda satu dengan yang lainnya mengingat sifatnya yang individual, termasuk dalam penanganannya pun kita seringkali menemukan keunikan tersebut, baik itu yang memang dapat kita terima dengan kajian logika maupun yang sama sekali tidak bisa kita nalar walaupun kita telah berusaha memaksakan untuk menalarkannya.

Sebuah kasus ; pernah suatu ketika saya dinas di ruang perawatan penyakit kanker pada sistem reproduksi/DDS, dimana pasien dengan ca serviks stadium IIIa merasa nyeri pada kuadran kiri bawah abdomennya, dan dia merasa nyerinya berkurang hanya dengan menggenggam erat-erat sebuah kerikil warna kelabu !!.

Hal tersebut jelas menggambarkan bahwa kadang-kadang, nyeri itu dapat diselesaikan tanpa dengan medikasi sama sekali, berikut ini adalah faktor-faktor yang mungkin dapat menerangkan mengapa nyeri tidak mendapatkan medikasi sama sekali:
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan staf medis
Petugas kesehatan (dokter, perawat, dsb) seringkali cenderung berpikiran bahwa pasien seharusnya dapat menahan terlebih dahulu nyerinya selama yang mereka bisa, sebelum meminta obat atau penangannya, hal ini mungkin dapat dibenarkan ketika kita telah mengetahui dengan pasti bahwa nyeri itu adalah nyeri ringan, dan itupun harus kita evaluasi secara komprehensif, karena bisa saja nyeri itu menjadi nyeri sedang atau bahkan nyeri yang berat, apakah kondisi seperti ini dapat terus dibiarkan tanpa penanganan? Apakah ketakutan untuk terjadinya adiksi apabila mendapatkan analgetik dapat menyelesaikan masalah ?
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
Pasien adalah manusia yang mempunyai kemampuan adaptif, yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Ketika pasien masuk ke dunia rumah sakit sebenarnya ia telah “siap” untuk menerima aturan dan konsekuensi di dunia tersebut, sehingga kadang-kadang, karena “takut” dianggap tidak menyenangkan oleh “petugas” atau biar dapat menyenangkan dimata “petugas” maka ia akan “menahan” informasi yang menyatakan bahwa ia sekarang sedang mengalami nyeri, atau karena kondisi fisiknya yang menyebabkan ia tidak mampu untuk mengatakan bahwa ia nyeri, pada kondisi CKB misalnya.
Pada beberapa kasus seringkali nyeri ini juga merupakan suatu cara agar ia mendapatkan perhatian yang lebih dari petugas kesehatan, apalagi apabila ia merasa sudah melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang pasien, pada kondisi ini mungkin ada perbedaan yang mencolok antara pasien kelas III dengan pasien yang di rawat di VVIP pada kondisi jeis nyeri yang sama.
c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sistem
Sebagian pasien di rumah sakit adalah pasien dengan asuransi, yang telah mempunyai standart tertentu di dalam paket pelayanan mereka, terkadang pasien membutuhkan obat yang tidak termasuk dalam paket yang telah ditentukan, sehingga ia harus mengeluarkan dana ekstra untuk itu, ceritanya menjadi lain ketika ia tidak mempunyai dana ekstra yang dibutuhkan.

2. Manajemen nyeri dengan pendekatan farmakologik
Ada tiga kelompok utama obat yang digunakan untuk menangani rasa nyeri :
a. Analgetika golongan non narkotika
b. Analgetika golongan narkotika
c. Adjuvan

3. Prosedur invasif
Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan memasukan opioid ke dalam ruang epidural atau subarakhnoid melalui intraspinal, cra ini dapat memberikan efek analgesik yang kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur invasif yang lain adalah blok saraf, stimulasi spinal, pembedahan (rhizotomy,cordotomy) teknik stimulasi, stimulasi columna dorsalis.

G. Kesimpulan
Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik/ menyeluruh, hal ini karena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia, oleh karena itu kita tidak boleh hanya terpaku hanya pada satu pendekatan saja tetapi juga menggunakan pendekatan-pendekatan yang lain yang mengacu kepada aspek kehidupan manusia yaitu biopsikososialkultural dan spiritual, pendekatan non farmakologik dan pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangka mengatasi/ penanganan nyeri pasien.
Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berrespon secara berbeda terhadap nyeri, sehingga penangananyapun tidak bisa disamakan antar individu yang satu dengan yang lainnya.
Pengkajian yang tepat, akurat tentang nyeri sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencari solusi yang tepat untuk menanganinya, untuk itu pengkajian harus selalu dilakukan secara berkesinambungan, sebagai upaya mencari gambaran yang terbaru dari nyeri yang dirasakan oleh pasien.
H. Implikasi keperawatan
1. Perawat dituntut untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien, untuk itu diperlukan suatu pendidikan khusus mengenai nyeri dan penangannya dimana hal ini bisa dilakukan dalam masa pendidikan maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan secara terpadu.
2. Mengingat kompleknya aspek nyeri, dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada pasien maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang khusus yang menangani nyeri baik di tatanan rawat jalan maupun rawat inap.
3. Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait dengan nyeri dan penanganannya sesuai dengan kebutuhan pasien.
4. Pengetahuan dan ketrampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan non farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak diperlukan dan dikuasai oleh perawat.


MANAJEMEN NYERI DALAM SUATU TATANAN TIM MULTI DISIPLIN

I. DEFINISI

IASP 1979 (International Association for the Study of Pain)
“ suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan

The Veteran’s Health Administration, 1999
memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima,
jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu tubuh, nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri.

Sternbach (1968)
“konsep yang abstrak” yang merujuk kepada sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari bahaya.

McCaffery (1979)
nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri “ apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika dia mengatakan hal itu ada “.

II. Tipe Nyeri

The National Institutes of Health Consensus Conference on Pain 1986.
 Nyeri akut merupakan hasil dari injuri akut, penyakit atau pembedahan,
 Nyeri kronik non keganasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif,
 Nyeri kronik keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang progresif.

III. Penanganan nyeri
 Manajemen nyeri non farmakologik.
terapi perilaku (hipnotis, biofeedback), pelemas otot/ relaksasi,akupuntur, terapi kognitif (distraksi), restrukturisasi kognisi, imajinasi dan terapi fisik.

 Manajemen nyeri dengan pendekatan farmakologik
Ada tiga kelompok utama obat yang digunakan untuk menangani rasa nyeri :
 Analgetika golongan non narkotika
 Analgetika golongan narkotika
 Adjuvan

 Prosedur invasif
Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan memasukan opioid ke dalam ruang epidural atau subarakhnoid melalui intraspinal, cara ini dapat memberikan efek analgesik yang kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur invasif yang lain adalah blok saraf, stimulasi spinal, pembedahan (rhizotomy,cordotomy) teknik stimulasi, stimulasi columna dorsalis.

IV. Hambatan dalam penanganan nyeri

1. Ketakutan akan timbulnya adiksi
 adiksi sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik.
 Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak.
 Toleransi adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama, sedangkan adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang dari suatu zat psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan.
2. Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri
 perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga tercipta tenaga kesehatan yang handal, salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah dengan masuknya topik nyeri dalam modul PBL dalam pendidikan keperawatan.
 Pengkajian merupakan hal yang mendasar yang menentukan dalam kualitas penanganan nyeri:
 Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk menilai nyeri yaitu :
o Simple Descriptive Pain Distress Scale,
o Visual Analog Scale (VAS),
o Pain Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale
o 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale
V. Kesimpulan
 Pendekatan yang holistik/ menyeluruh,
 Biopsikososialkultural dan spiritual,
 Pendekatan non farmakologik dan pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangka mengatasi/ penanganan nyeri pasien.
 Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berespon secara berbeda terhadap nyeri.
 Pengkajian secara berkesinambungan

VI.Implikasi keperawatan
1. Perawat dituntut untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien, untuk itu diperlukan suatu pendidikan khusus mengenai nyeri dan penangannya dimana hal ini bisa dilakukan dalam masa pendidikan maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan secara terpadu.
2. Mengingat kompleknya aspek nyeri, dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada pasien maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang khusus yang menangani nyeri baik di tatanan rawat jalan maupun rawat inap.
3. Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait dengan nyeri dan penanganannya sesuai dengan kebutuhan pasien.
4. Pengetahuan dan ketrampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan non farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak diperlukan dan dikuasai oleh perawat.