Rabu, 05 Oktober 2011

Askep Diabetes Melitus

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. KONSEP DASAR MEDIK
1. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidak-seimbangan antara produksi dan penggunaan insulin yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. (Joyce, M. Black. Medical Surgical Nursing, hal. 1955).
Diabetes Melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau disebut dengan hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, Keperawatan Medikal Bedah, tahun 2000).

2. Klasifikasi DM
Klasifikasi DM ada 2, yaitu :
a. Tipe I atau disebut IDDM
Karakteristik diabetes tipe I merupakan kerusakan autoimun B. cell, sehingga terjadi kekurangan produksi insulin, tidak berfungsi tempat reseptor insulin yang mana akhir produksi energi tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh. IDDM adalah keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa dalam plasma darah yang berkisar antara 140-200. Biasanya disertai dengan adanya keton dalam darah dan urine. Dimana terjadi juga peningkatan glukosa dalam darah dan urine. Dimana terjadi juga peningkatan glukosa dalam darah (hiperglikemia) disebabkan karena ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat diketahui dan disebut dengan “Three Polys” yaitu poliuria, polidipsi dan polipagia. (Donna, 1991, hal. 1588-1589).
b. Tipe II atau disebut dengan NIDDM
Diabetes Mellitus tipe II tidak ada hubungannya dengan tipe jaringan HLA (Human Leucosyt Antigen). Tipe II ini 85% dikaitkan dengan faktor obesitas sehingga terjadi penurunan sensitifitas terhadap insulin akibat penurunan produksi insulin.
3. Anatomi Fisiologi
Pankreas adalah sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah, panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa yang beratnya rata-rata 60-90 gram terlentang pada vertebra lumbalis I dan II di belakang lambung.
Bagian dari pankreas terdiri dari:
a. Kepala (caput)
Terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan duodenum yang melingkarinya.
b. Badan (corpus)
Merupakan bagian utama dari organ ini yang letaknya di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis I di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis I.
c. Ekor (cauda)
Bagian runcing di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limpa.
Fungsi pankreas:
a) Fungsi eksokrin
Yang membentuk getah pankreas yang berisi enzim pankreas, pepsin, tripsin, dan amilase.
b) Fungsi endokrin
Menghasilkan 3 jenis sel yaitu:
- Sel Alpha
Mensekresi glukagon yang berfungsi meningkatkan glukosa darah.
- Sel Beta
Mensekresi insulin yang mengatur metabolisme karbohidrat protein dan lemak dengan menstimulus permeabilitas sel sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel.
- Sel Delta
Mensekresi hormon somatostatin yang belum jelas fungsinya.
Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang merupakan salah satu dari empat tipe sel dalam pula langerhans pankreas. Insulin merupakan hormon anabolik atau hormon untuk menyimpan kalori (Storage hormone).
Apabila seseorang makan-makanan, sekresi insulin akan meningkatkan dan menggerakkan glukosa ke dalam sel-sel otot, hati serta lemak. Dalam sel-sel tersebut, insulin menimbulkan efek berikut ini:
• Menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati dan otot (dalam bentuk glikogen).
• Meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adiposa.
• Mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel.
Insulin juga menghambat pemecahan glukosa, protein dan lemak yang disimpan. Selama masa “puasa” (antara jam-jam makan dan pada saat tidur malam), pankreas akan melepaskan secara terus-menerus sejumlah kecil insulin bersama dengan hormon pankreas lain yang disebut glukagon (hormon ini disekresikan oleh sel-sel alfa pulau langerhans). Insulin dan glukagon secara bersama-sama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa dari hati.
Pada mulanya, hati menghasilkan glukosa melalui pemecahan glikogen (glikogenolisis). Setelah 8 hingga 12 jam tanpa makanan, hati membentuk glukosa dan pemecahan zat-zat selain karbohidrat yang mencakup asam-asam amino (glukoneogenesis). (Brunner and Suddarth Vol. 2 edisi 8).

4. Etiologi
Penyebab DM belum diketahui secara pasti, adapun kemungkinan yang menjadi penyebab adalah :
a. DM tipe I / IDDM
1) Faktor immunologi
2) Infeksi/virus
3) Faktor genetik.
b. DM tipe II / NIDDM
1) Faktor genetik
2) Kurang aktivitas
3) Faktor lingkungan
4) Pengaruh obat-obatan (diuretik, oral kontrasepsi).
(Nancy, 1991, hal. 330).

5. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau langerhans di pankreas. Insulin diproduksi terus menerus sesuai tingkat gula dalam darah. Para penderita DM, produksi insulin terganggu atau tidak diproduksi. Beberapa kemungkinan dapat terjadi karena:
- Kekurangan produksi insulin oleh sel beta
- Reseptor insulin pada sel kurang berfungsi
Defisiensi insulin akan menyebabkan glukosa tidak masuk dalam sel melalui siklus kreb dan akan mengakibatkan sel mengoksidasi lemak dan protein dari jaringan adiposa, karena pemecahan jaringan menyebabkan badan menjadi kurus dan nafsu makan meningkat serta pasien akan terus merasa lapar. Pemecahan lemak menghasilkan benda keton sehingga pH meningkat menyebabkan asidosis metabolik akibatnya pernafasan meningkat.
Pemecahan protein menghasilkan NH4 dan NH3. Peningkatan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia menyebabkan tekanan osmotik ekstra meningkat dan menarik cairan intrasel ke dalam darah. Apabila kadar gula dalam darah meningkat melebihi 180 mg % akan mengganggu ambang batas ginjal sehingga terjadi glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan dehidrasi, kompensasi dari sel akan menimbulkan rasa haus yang berlebihan (keinginan minum banyak).
Akibat lain dari defisiensi insulin menyebabkan kerusakan vaskuler koroner dan arteri perifer, sehingga mengganggu aliran darah ke seluruh tubuh. Meningkatnya kadar gula akan memudahkan terjadinya infeksi karena kemampuan fagositosis dari leukosit dan juga akan menyebabkan luka menjadi sulit sembuh.
Bila penyakit ini terjadi bertahun-tahun akan terjadi komplikasi pada jantung, ginjal, ekstremitas dan rongga kecil pada mata.


6. Tanda dan Gejala
a. Poliuria, polidipsi dan polifagia
b. Penurunan berat badan
c. Merasa lemah dan lelah
d. Kesemutan dan rasa baal
e. Luka yang sukar sembuh
f. Infeksi saluran kemih (vaginitis)
(IPD, tahun 1996).

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
- Glukosa darah meningkat 200 mg/dl atau lebih.
- Aseton plasma (keton) positif
- Kadar lipid dan kolesterol meningkat.
- Serum elektrolit : natrium mungkin normal/menurun, kalium bisa normal atau meningkat.
- Ht menurun karena dehidrasi
- Glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl
- Glukosa darah puasa > 140 mg/dl
- AGD  pH menurun HCO3 menurun (terjadi asidosis metabolik).
b. Pemeriksaan urine : keton dan glukosa (+)
(Doengoes)

8. Therapi/Penatalaksanaan Medik
a. Diit ditentukan dengan kondisi pasien, misalnya untuk pasien obesitas pemasukan kalori harus dibatasi sedangkan untuk pasien DM tipe I dibutuhkan kalori yang cukup untuk membantu pemulihan berat badan.
b. Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler.
c. Pemantauan kadar glukosa darah untuk mengatur terapi yang tepat.
d. Therapi medik  pemberian insulin.

9. Komplikasi
a. Perubahan makrovaskuler
Penderita diabetes dapat mengakibatkan perubahan arteriosklerosis pada arteri-arteri besar. Penderita NIDDM mengalami perubahan makrovaskuler lebih sering dari penderita IDDM. Insulin memainkan peranan utama dalam metabolisme lemak dan lipid. Selain itu diabetes dianggap memberikan peranan sebagai faktor dalam timbulnya hipertensi yang dapat mempercepat arterosklerosis. Pengecilan lumen pembuluh-pembuluh darah besar membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan dan dapat menyebabkan iskemik jaringan, dengan akibat yang timbul berupa penyakit cerebro vaskuler, penyakit arteri koroner, stenosis arteri renalis dan penyakit-penyakit vaskuler perifer.
b. Perubahan mikrovaskuler
Perubahan tersebut ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran basal pembuluh-pembuluh kapiler. Perubahan ini sering terjadi pada penderita IDDM dan bertanggung jawab dalam terjadinya neuropati retinopati diabetik.
c. Nefropati
Salah satu akibat utama dari perubahan-perubahan mikrovaskuler adalah perubahan struktur dan fungsi ginjal.
Empat jenis lesi yang sering timbul adalah pyelonefritis, lesi-lesi glomerulus, arteriosklerosis arteri renalis dan arteriol afferent dan efferent, serta lesi-lesi tubular. Tanda-tanda awal suatu lesi glomerulus adalah proteinuria yang meningkat secara bertahap sesuai dengan beratnya penyakit.
d. Retinopati Diabetik
Kebutuhan pada penderita diabetes seringkali sebagai akibat perubahan mikrovaskuler pada retina. Selain retinopati, penderita diabetes melitus juga dapat mengalami pembentukan katarak yang diakibatkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
e. Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi syaraf-syaraf perifer, sistem saraf otonom medula spinalis, atau sistem syaraf pusat. Banyak dan berbagai macam gejala yang timbul tergantung neuro yang terkena. Akumulasi surbital dan perubahan-perubahan metabolik lain dalam sintesa atau fungsi myelin yang dikaitkan dengan hiperglikemi dapat menimbulkan perubahan kondisi syaraf. Penderita diabetes melitus dapat mengalami neuropati yang mempengaruhi sistem saraf otonom. Pada keadaan ini dapat terjadi perubahan mobilitas lambung sehingga menyebabkan tidak tergantung absorbsi makanan, inkontinensia atau impoten atau ketidakmampuan untuk mengenal tanda-tanda awal hipoglikemia.
f. Perubahan ekstremitas bawah
Perubahan-perubahan makrovaskuler dan neuropati semuanya menyebabkan perubahan-perubahan pada ekstremitas bawah. Perubahan yang penting adanya anestesi yang timbul karena hilangnya fungsi saraf-saraf sensorik. Keadaan ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi yang menyebabkan gangren. (Barbara C. Long, 1996, hal. 14-17).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
1) Riwayat diabetes melitus keluarga.
2) Usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 30 tahun.
3) Riwayat obesitas.
b. Pola nutrisi metabolik
1) Rasa haus dan lapar yang berlebihan
2) Mual dan muntah
3) Banyak minum dan makan
4) Riwayat diet sebelumnya
5) Obesitas/peningkatan berat badan.
6) Penurunan berat badan.
c. Pola eliminasi
1) Perubahan pola berkemih/poliuria.
2) Rasa terbakar saat berkemih karena infeksi.
3) Bisa diare/konstipasi.
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Kelemahan
2) Jarang olahraga
3) Kram otot.
e. Pola tidur dan istirahat
1) Gangguan tidur akibat nokturia
2) Mudah mengantuk setelah makan.
f. Pola persepsi dan kognitif
1) Pusing dan sakit kepala
2) Pandangan kabur
3) Disorientasi, gangguan memori.
g. Pola seksual dan reproduksi
1) Impotensi
2) Keputihan / vaginitis
3) Penurunan libido

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hiperglikemia/hipoglikemia b.d tidak adekuatnya faktor insulin yang resisten.
b. Kekurangan volume cairan b.d diuresis osmotik (hiperglikemia).
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang kurang.
d. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d kadar glukosa tinggi dan penurunan fungsi leukosit.
e. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit b.d kurang informasi.
f. Resiko kerusakan integritas kulit b.d. imobilisasi dan neuropati.
g. Ketidakmampuan beraktivitas b.d. kelemahan fisik.

3. Perencanaan
a. Hiperglikemia/hipoglikemia b.d tidak adekuatnya faktor insulin yang resisten.
Hasil yang diharapkan :
- Pasien akan mengalami perbaikan nilai gula darah.
- Pasien menunjukkan tidak ada tanda-tanda hipoglikemia dehidrasi.
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda dan gejala hipoglikemia seperti muka pucat, bingung, sakit kepala, banyak keringat, lemas, nafas pendek.
R/ Pemantauan yang tepat dapat mengatasi reaksi insulin yang terjadi secara tiba-tiba.
2) Observasi tanda-tanda ketoasidosis (mual, muntah, poliuria, haus, tachicardia, nafas bau aseton)
R/ Tidak adekuatnya pengawasan pengobatan, diet yang berlebihan, infeksi dan stres dapat menjadi faktor presipitasi ketoasidosis.
3) Monitor dan catat gula darah perifer, glukosuria dan berat badan setiap hari.
R/ Menentukan diagnosa dan perencanaan keperawatan selanjutnya.
4) Menentukan dan memberikan cairan perifer.
R/ Hiperglikemia menyebabkan dehidrasi yang berhubungan dengan efek hiperosmolar.
5) Berikan insulin atau obat-obatan hiperglikemia oral sesuai dengan program medik.
R/ Insulin mengakibatkan pemasukan glukosa dalam sel dan menurunkan glukogenesis.

b. Kekurangan volume cairan b.d diuresis osmotik (hiperglikemia)
Hasil yang diharapkan :
- Hidrasi adekuat, turgor kulit baik, kadar serum elektrolit normal.
- Intake dan output seimbang.
Intervensi :
1) Kaji riwayat pasien sehubungan dengan gejala, seperti : muntah, pengeluaran urine yang berlebihan.
R/ Merencanakan dan menentukan intervensi dan perawatan.
2) Pantau TTV, catat adanya perubahan TD.
R/ Hipovolemik dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan tachicardia, perkiraan berat ringannya hipovolemik dapat terjadi ketika TD sistolik turun.
3) Kaji frekuensi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
R/ Merupakan indikator dari peningkatan dehidrasi/volume sirkulasi.
4) Monitor dan catat intake dan output serta berat jenis urine.
R/ Memberikan pekerjaan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal dan keefektifan terapi yang diberikan.
5) Pertahankan untuk pemberian cairan, paling sedikit 2500 cc/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung.
R/ Mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang kurang.
Hasil yang diharapkan :
1) Kebutuhan kalori terpenuhi.
2) BB stabil.
Intervensi :
1) Timbang BB setiap hari sesuai indikasi.
R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
2) Tentukan program diit dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien.
R/ Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
3) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, perut kembung, mual, muntah.
R/ Hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas dan fungsi lambung.
4) Berikan makanan yang mengandung nutrisi dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya.
R/ Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal.
5) Identifikasi makanan yang disukai, dikehendaki termasuk kebutuhan etnik dan kultur.
R/ Meningkatkan pemasukan nutrisi yang adekuat.
6) Pantau tanda-tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab, nadi cepat).
R/ Hipoglikemia dapat terjadi akibat gangguan metabolisme karbohidrat.

d. Risti terhadap infeksi b.d kadar glukosa tinggi dan penurunan fungsi leukosit.
Hasil yang diharapkan :
1) Infeksi tidak terjadi.
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan: demam, kemerahan, adanya pus pada luka.
R/ Kemungkinan pasien masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan infeksi nosokomial.
2) Tingkatkan upaya pencegahan dan melakukan teknik aseptik.
R/ Mencegah infeksi silang (nosokomial).
3) Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif (pemasangan infus, catheter, dan lain-lain).
R/ Kadar glukosa yang tinggi menjadi media bagi pertumbuhan kuman.
4) Berikan perawatan kulit dengan teratur, massage daerah tulang yang tertekan, juga kulit tetap kering.
R/ Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan klien pada resiko terjadinya kerusakan pada kulit dan infeksi.
5) Lakukan perubahan posisi dan anjurkan pasien untuk batuk efektif/nafas dalam jika pasien sadar dan kooperatif.
R/ Membantu dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi sekret.

e. Kurang pengetahuan tentang peningkatan gula darah, tanda dan gejala b.d kurang pengetahuan.
Hasil yang diharapkan :
1) Pasien mengetahui pengaturan diet, mengobservasi tanda-tanda hipoglikemi dan hiperglikemi, penggunaan obat secara mandiri dan benar.
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien.
R/ Perencanaan perawat memberikan petunjuk dan pengajaran kepada klien.
2) Ajarkan penanganan dengan pemakaian insulin atau obat hipoglikemia oral.
R/ Pentingnya bagi klien tentang perencanaan diit yang rumit dan kontrol penyakit.
3) Koordinasi kepada klien tentang perencanaan diit, pengobatan dan kontrol penyakit.
R/ Menolong klien dan keluarga tentang perencanaan diit yang rumit dan kontrol penyakit.
4) Ajarkan metode test gula darah dan glukosa urine yang akan digunakan di rumah.
R/ Penanganan DM yang baik di rumah memerlukan monitor sendiri dari klien dalam menentukan gaya hidup.
5) Tekankan pentingnya aktifitas dan latihan, pertahankan keseimbangan aktifitas.
R/ Latihan menstimulasi metabolisme karbohidrat, menurunkan tekanan darah, menurunkan berat badan dan menolong atau mengurangi sirkulasi dari peningkatan hipoprotein yang tinggi.

f. Resiko kerusakan integritas kulit b.d. imobilisasi dan neuropati.
Hasil yang diharapkan :
- Kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
- Integritas kulit tetap utuh.
- Tidak ada tanda-tanda infeksi.
- Tidak ada keluhan rasa nyeri.
Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda terjadinya infeksi, ukuran, warna kedalaman luka dan perhatikan jaringan nekrotik.
R/ Memberikan informasi tentang tanda-tanda infeksi untuk memberikan intervensi yang tepat.
2) Berikan perawatan yang tepat dan tindakan kontrol infeksi.
R/ Memperbaiki integritas kulit yang rusak/infeksi dan mencegah komplikasi.
3) Anjurkan kulit yang luka tidak terkena air.
R/ Mencegah terjadinya infeksi yang baru.
4) Anjurkan tirah baring pada area kulit yang luka/infeksi.
R/ Mencegah terjadinya pembengkakan dan untuk mempercepat penyembuhan.
5) Berikan terapi antibiotik sesuai instruksi dokter.
R/ Mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan.

g. Ketidakmampuan beraktivitas b.d. kelemahan fisik.
Hasil yang diharapkan :
- Meningkatkan kemampuan pasien beraktivitas.
- Kelemahan fisik berkurang.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien beraktivitas.
R/ Menilai tingkat kemampuan pasien.
2) Berikan aktivitas dengan periode istirahat yang cukup.
R/ Mencegah kelemahan yang berlebihan.
3) Monitor tanda-tanda vital sebelum/sesudah beraktivitas.
R/ Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologi.
4) Diskusi cara menghemat kalori.
R/ Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan.
5) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
R/ Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif.

4. Discharge Planning
a. Diet sesuai yang ditentukan dokter.
b. Pentingnya perawatan kulit untuk mencegah luka di kulit.
c. Mengenali tanda-tanda hipoglikemia (diaporesis, takikardia, palpitasi, rasa lapar, tremor, sakit kepala, bingung, nafas dangkal).
d. Pentingnya perawatan kulit : tidak memakai sepatu yang sempit, harus memakai alas kaki, hindari kulit yang lembab.






















DAFTAR PUSTAKA


Black, Joyce. Medical Surgical Nursing, Clinical Management For Community of Care. 5th editon.

Brunner and Suddarth (2000). Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi ke-8, Volume 2, Jakarta : EGC.

Doengoes E. Marilynn (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3, Jakarta : EGC.

Donna D. Ignatavicius, Marilyn Warner Bayne. Medical Surgical Nursing A Nursing Approach. WB Saunders Company. Philadelphia : WB Saunders Company.

Long C. Barbara (1996). Perawatan Medikal Bedah, Yayasan IAPK. Bandung : Padjajaran.

Price A. Sylvia (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.













C. C. PATOFLOWDIAGRAM - DM

Askep Trauma Capitis

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dengan berkembangnya teknologi di berbagai bidang kehidupan, tidak berarti bahwa resiko tinggi kecelakaan pada manusiapun tidak ada. Banyak kecelakaan yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas sehari-hari. salah satu trauma yang memiliki tingkat resiko paling tinggi ialah resiko cedera kepala, karena sangat berkaitan erat dengan susunan saraf pusat yang berada di rongga kepala.
Data statistik menunjukkan bahwa tingkat trauma kepala sangat tinggi yang diakibatkan sebagai akibat kurang kewaspadaan dari masing-masing individu. Dari semua kasus cedera kepala di Amerika Serikat 49% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (sepeda motor) dan jatuh merupakan penyebab ke dua (keperawatan kritis, Hudak & Gallo) serta dua kali lebih besar pada pria dibandingkan wanita sedangkan di Indonesia belum ada penelitian yang menunjukkan presentasi kematian yang diakibatkan oleh cedera kepala, tetapi dari pengamatan yang dilakukan banyak kasus cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Cedera kepala ringan pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas sehingga masyarakat tidak langsung mencari bantuan medis, padahal sekecil apapun trauma di kepala bisa mengakibatkan gangguan fisik, mental bahkan kematian.
Untuk mengantisipasi keadaan di atas maka masyarakat harus diberi penyuluhan-penyuluhan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma kepala.
Peran dari berbagai pihak seperti kepolisian sangat penting karena kecelakaan terjadi biasanya didahului dengan pelanggaran lalu lintas, sehingga pendidikan, tata tertibdi jalan raya perlu ditingkatkan.
Oleh karena itu peran perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan trauma kepala karena perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan observasi untuk menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh cedera kepala.


B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Agar lebih memahami secara mendalam tentang trauma kapitis sehingga dapat memberi perawatan yang akurat pada pasien.
2. Memperoleh pengalaman nyata dan menghubungkan dengan teori yang telah didapat.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan :
1. Studi kepustakaan dengan mempelajari literatur yang berhubungan dengan Trauma Kapitis.
2. Studi kasus yaitu dengan pengamatan langsung pada pasien trauma kapitis.

D. Sistematika Penulisan
Terdiri dari 5 bab yang diawali dengan kata pengantar dan daftar isi. Dalam Bab I memuat latar belakang, tujuan, metode dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang tujuan teoritis; konsep medik meliputo definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, test diagnostik, terapi dan pengelolaan medik serta komplikasi. Sedangkan konsep asuhan keperawatan : pengkajian, diagnosa perawatan, perencanaan keperawatan dan perencanaan pulang. Bagian akhir bab II berisi tentang patoflowdiagram. Bab III pengamatan kasus, memuat tentang kasus yang diamati di lapangan dan pengkajian sampai evaluasi termasuk nilai laboratorium dan obat-obatan yang diberikan. Bab IV pembahasan kasus menghubungkan antara teori dan kasus yang diamati. Bab V berisi kesimpulan setelah mengamati pasien dilapangn dan teori. Bagian akhir dilampirkan daftar pustaka yang menjadi referansi dalam penyususnan makalah ini.










BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar Medik
I. Definisi
Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak. (Brunner and Suddarth Medikal Surgical Nursing).

II. Anatomi Fisiologi
Otak merupakan satu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak terdapat dalam rongga tengkorak yang melindungi otak dari cedera.
Berdasarkan daerah atau lobusnya otak terbagi menjadi 4 lobus yaitu : frontalis (untuk berpikir) temporalis (menerima sensasi yang datang dari telinga), parietalis (sensasi perabaan, perubahan temperatur) oksipitalis (menerima sensasi dari mata).
Otak selain dilindungi oleh tengkorak juga dilindungi selaput yang disebut munigen berupa jaringan serabut penghubung yang melindungi, mendukung dan memelihara otak. Munigen terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Durameter
Membran luar yang liat, tebal, tidak elastis.Dura melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak oleh karena bila dura robek dan tidak segera diperbaiki dengan sempurna maka akan timbul berbagai masalah. Dura mempunyai aliran darah yang kaya. Bagian tengah dan posterior di suplay oleh arteri munigen yang bercabang dari arteria karotis interna dan menyuplay fasa arterior arteria munigen yaitu cabang dari arteria oksipitalis menyuplay darah ke fasa posterior.
2. Araknoid
Merupakan bagian membran tengah bersifat tipis, halus, elastis dan menyerupai sarang laba-laba. Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding araknoid terdapat pleksus khoroid yng bertanggung jawab memproduksi cairan serebrospinal (CSS). Terdapat juga membran araknoid villi yang mengabsorbsi CSS. Pada orang dewasa normal CSS yang diproduksi 500 ml perhari, tetapi 150 ml diabsorbsi oleh villi.

3. Piamater
4. Membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak dan sangat kaya dengan pembuluh darah.
Otak merupakan organ kompleks yang dominasi cerebrum. Otak merupakan struktur kembar yaitu lateral simetris dan terdiri dari 2 bagian yang disebut hemisferium.
Belahan kiri dari cerebrum berkaitan dengan sisi kanan tubuh dan belahan kanan cerebrum berkaitan dengan sisi kiri tubuh.
Otak terbagi menjadi 3 bagian besar :
1. Cerebrum (otak besar)
Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Substansia grisea terdapat pada bagian luar dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam. Pada prinsipnya komposisi substansia grisea yang terbentuk dari badan-badan sel saraf memenuhi kortex serebri, nukleus dan basal gangglia. Substansia alba terdiri dari sel-sel syaraf yang menghubungkan bagian–bagian otak yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri (telesefalon) tensi jaringan SSP. Area inilah yang mengontrol fungsi motorik tertinggi yaitu terhadap fungsi individu dan intelegensia.
2. Batang otak (trunkus serebri), terdiri dari :
• Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dan mesensepalon. Diensepalon berfungsi untuk vasokontruktor (mengecilkan pembuluh darah), respiratory (membantu proses pernapasan), mengontrol kegiatan reflek dan membantu pekerjaan jantung.
• Mesensefalon, berfungsi sebagai membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata, memutar mata dan pusat pergerakan mata.
• Pons varoli, sebagai penghubung antara kedua bagian serebellum dan juga medula oblongata dengan serebellum pusat saraf nervus trigeminus.
• Medula oblongata, bagian batang otak yang paling bawah yang berfungsi untuk mengontrol pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernapasan dan mengontrol kegiatan refleks.
• Serebelum
Terletak dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentoreum yang memisahkan dari bagian posterior serebrum.
Semua aktivitas serebrum berada dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tenus-tenus kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
• Diensefalon
Istilah yang digunakan untuk menyatakan struktur-struktur disekitar vertikel dan membentuk inti bagian dalam serebrum. Diensefalon memproses rangsang sensorik dan membantu memulai atau memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang tersebut.
Diensefalon dibagi menjadi 4 wilayah yaitu :
a. Talamus
 Berfungsi sebagai pusat sensorik primitif (dapat merasakan nyeri, tekanan, rabaan getar dan suhu yang ekstrim secara samar-samar).
 Berperan penting dalam integrasi ekspresi motorik oleh karena hubungan fungsinya terhadap pusat motorik utama dalam korteks motorik serebri, serebelum dan gangglia basalis.
b. Hipotalamus
Letak dibawah talamus
 Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah laku dan emosi.
 Berperan penting dalam pengaturan hormon (hormon anti diuretik dan okstoksin disintesis dalam nukleus yang terletak dalam hipotalamus).
 Pengaturan cairan tubuh dan susunan elektrolit, suhu tubuh, fungsi endokrin dari tingkah laku seksual dn reproduksi normal dan ekspresi ketenangan atau kemarahan, lapar dan haus.
c. Subtalamus
Merupakan nukleus ekstrapiramidal diensefalon yang penting fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan diskinesia dramatis yang disebut hemibalismus.
d. Epitalamus
Berupa pita sempit jaringan saraf yang membentuk atap diensefalon. Epitalamus berhubungan dengan sistem limbik dan agaknya berperan pada beberapa dorongan emosi dasar dan ingarasi informasi olfaktorius.

III. Etiologi
a. Kecelakaan lalu lintas/industri
b. Jatuh
c. Benturan benda tajam/ tumpul
d. Trauma pada saat kelahiran
e. Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
f. Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)

IV. Patofisiologi
- Trauma kapitis menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Cedera otak bisa berasal dari trauma langsung dan trauma tidak langsung pada kepala.
- Kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
- Riwayat kerusakan yang disebabkan oleh beberapa hal tergantung pada kekuatan yang menimpa.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras, bergerak, dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan (counter coup) karena ada benturan keras ke otak maka bagian ini dapat merobek dan mengoyak jaringan, kerusakan diperhebat bila ada rotasi tengkorak. Bagian otak yang paling keras mengalami kerusakan adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus oksipitalis dan bagian atas mesencefalon.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan neurologik berat disebabkan oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera, responnya dapat mempengaruhi perubahan isi cairan intrasel dan ekstrasel. Peningkatan suplay darah ke tempat cedera dan mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki kerusakan sel. Neuron dan sel-sel fungsional dalam otak tergantung dari suplay nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan O2 dan sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplay terhenti. Sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume darah yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa tempat tertentu dalam otak.

V. Klasifikasi Trauma Capitis
a. Luka/lecet pada kulit kepala yang paling sering terjadi, karena kulit kepala terdiri dari banyak pembuluh darah dengan kemampuan yang kurang, kebanyakan lukanya disertai dan bercampur dengan perdarahan komplikasi utama yang terjadi pada kulit kepala adalah infeksi.
b. Trauma Kapitis terdiri dari :
1) Trauma Kapitis Terbuka
Adalah suatu keadaan dimana tengkorak sudah fraktur dan bagian duramaternya terbuka dan tergores. Ada jenis fraktur kepala terbuka yang mengenai dasar tengkorak, yaitu fraktur basis kranii yang ditandai dengan :
a) Echymosis disekitar Os mastoideus
b) Hemotimpanum yaitu perdarahan yang keluar dari telinga.
c) Echymosis periorbital (black eyes) walaupun trauma tidak ada pada mata.
d) Rinorrhea atau ottorhea



2) Trauma Kapitis Tertutup
a) Concussion/commotio/memar
Adalah banyak cedera yang mengakibatkan kerusakan fungsi neurologi tanpa terjadinya kerusakan struktur, untuk sementara kehilangan kesadaran dalam beberapa menit atau 2-3 jam. Fenomena ini memerlukan pengawasan dan orientasi secara bertahap. Dapat juga disertai dengan pusing dan sakit kepala, karakteristik gejala commotio, sakit kepala, pusing, lelah, amnesia retrograde dan ketidakmampuan berkonsentrasi.
b) Contusio
Adalah cedera kepala yang termasuk didalamnya luka memar, perdarahan dan edema. Keadaan ini lebih serius daripada commotio serebri. Pasien dapat tidak sadar dalam waktu yang tidak tentu (2-3 jam, atau bulanan). Amnesia retrograde lebih berat dan jelas. Gejala neurologis, parese, cedera. connorio ini biasanya dapat terlihat pada lobus frontalis jika dilakukan lumbal funksi maka liquor serebrospinal hemoragic.
c) Laceratio Cerebri (trauma kapitis berat)
Adanya sobekan pada jaringan otak karena tekanan atau fraktur dan luka tusukan. Dapat terjadi perdarahan, hematoma dan edema cerebral. Akibat perdarahan dapat terjadi ketidaksadaran, hemiplegi dan dilatasi pupil, cerebral laceratio diklasifikasikan berdasarkan lokasi benturan yaitu :
Coup, counter coup lesi tidak langsung terjadi pada tempat pukulan melainkan terlihat pada bagian belakangnya.

VI. Tanda dan Gejala
a. Commotio Cerebri
- Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit.
- Mual dan muntah
- Nyeri kepala (pusing)
- Nadi, suhu, TD menurun atau normal
b. Contosio Cerebri
- Tidak sadar lebih dari 10 menit
- Amnesia anterograde
- Mual dan muntah
- Penurunan tingkat kesadaran
- Gejala neurologi, seperti parese
- LP berdarah
c. Laserasio Serebri
- Jaringan robek akibat fragmen taham
- Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
- Kelumpuhan anggota gerak
- Kelumpuhan saraf otak

VII. Test Diagnostik
a. CT Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi adanya perdarahan, menentukan ukuran vertikel, pergeseran jaringan otak
b. MRI (Magnetik Resonance Imaging)
Sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontral
c. PET (Positron Emission Tomography) menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme otak.
d. Echoencephalograpi : melihat keberadaan dan berkembangnya gelombang patologis.
e. Fungsi lumbal/listernograpi : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
f. X-ray : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang, pergeseran struktur dari garis tengah, adanya frakmen tulang.
g. Cek elektrolit darah : untuk mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK.
h. Analisa Gas Darah : untuk mendeteksi jumlah ventilasi dan oksigenisasi
i. EEG : untuk melihat aktifitas dan hantaran listrik di otak
j. Pneumoenchephalografi dengan memasukkan udara ke dalam ruangan otak apakah ada penyempitan.
k. Darah lengkap untuk mengetahui kekuatan hemoglobin dalam mengikat O2.


VIII. Therapi / Pengelolaan Medik
Pengobatan yang diberikan pada pasien trauma kapitis :
1. Pengobatan konservatif
- Bedrest total di RS
- Antikonvulsan (anti kejang)
- Diuretik
- Corticosteroid (mengurangi edema)
- Barbiturat (penenang)
- Antibiotik (mencegah infeksi)
- Analgetik (mengurangi rasa takut).
2. Tindakan observatif
- Observasi pernapasan
- Monitor tekanan intrakranial
- Monitor cairan elektrolit
- Monitor tanda-tanda vital
3. Tindakan operatif bila ada indikasi

IX. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:
a. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.
b. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma dalam tulang tengkorak.
c. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.
d. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada fraktur tulang tengkorak.
e. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola pemeliharaan kesehatan dan persepsi kesehatan.
• Riwayat trauma saat ini dan benturan yang terjadi secara tidak sengaja.
• Fraktur atau terlepasnya persendian.
• Gangguan penglihatan
• Kulit luka kepala/abrasi, perubahan warna (tanda-tanda trauma)
• Keluarnya cairan dari telinga dan hidung
• Gangguan kesadaran
• Demam, perubahan suhu tubuh
b. Pola nutrisi metabolik
• Mual, muntah
• Sulit menelan
c. Pola eliminasi
• Inkontinensia atau retensi kandung kemih.
d. Pola aktivitas
• Keadaan aktivitas : lemah, letih, lesu, kesadaran berubah, hemiparase, kelemahan koordinasi otot-otot kejang
• Keadaan pernapasan: apnea, hyperventilasi, suara napas stridor, rochi, wheezing.
e. Pola istirahat
• Pasien mengatakan intensitas sakit kepala yang tidak tetap dan lokasi sakit kepala.
f. Pola persepsi sensori kognitif
• Kehilangan kesadaran sementara.
• Pusing, pingsan
• Mati rasa pada ekstremitas
• Perubahan penglihatan: diplopia, tidak peka terhadap reflek cahaya, perubahan pupil, ketidakmampuan untuk melihat ke segala arah.
• Kehilangan rasa, bau, pendengaran dan selera
• Perubahan dalam kesadaran, koma.
• Perubahan status mental (perhatian, emosional, tingkah laku, ingatan, konsentrasi).
• Wajah tidak simetris
• Tidak ada reflek tendon
• Tidak mampu mengkoordinir otot-otot dan gerakan, kelumpuhan pada salah satu anggota gerak otot.
• Kehilangan indra perasa pada bagian tubuh.
• Kesulitan dalam memahami diri sendiri.
g. Pola persepsi dan konsep diri
• Adanya perubahan tingkah laku (halus dan dramatik).
• Kecemasan, lekas marah, mengingau, gelisah, bingung.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus pariental, kerusakan nervus olfakttorius.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, hemiparese, kelemahanan.
d. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan dan kelemahan fisik.
e. Gangguan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya proses berfikir, ketidakmampuan fisik.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan
h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik
i. Gangguan kognitif kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia
j. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d trauma dan sakit kepala.
k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.
l. Perubahan pola eliminasi urine inkontinential atau retensi urine b.d terganggunya saraf kontrol berkemih.

3. Perencanaan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK
• Terorientasi pada tempat, waktu dan respon
• Tidak ada gangguan tingkat kesadaran


Intervensi:
• Kaji status neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat, suhu naik, pernapasan sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.
R/: Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat mengantisipasinya.
• Temukan faktor penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan dan potensial terjadi peningkatan TIK.
R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.
• Monitor suhu tubuh
R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya kerusakan hipotalamus atau panas karena peningkatan metabolisme tubuh.
• Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang lebih 30 derajat.
R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK
• Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat diuretik seperti manitol, diamox
R/: Membantu mengurangi edema otak

b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus parientalis, kerusakan nervus olfaktorius.
Hasil yang diharapkan:
• Kesadaran pasien kembali normal
• Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi:
• Observasi keadaan umum serta TTV
R/: Mengetahui keadaan umum pasien.
• Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.
R/: Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan lingkungan pasien.
• Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra, misalnya: parfum
R/: Melatih kepekaan nervus olfaktorius.
• Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa
R/: Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan
Hasil yang diharapkan:
• Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang tunjukkan dengan tidak adanya kontraktur.
• Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi:
• Lakukan latihan pasif sedini mungkin
R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot.
• Beri foodboard/penyangga kaki
R/: Mempertahankan posisi ekstremitas
• Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai
R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi
• Kolaborasi fisioterapi
R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur

d. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan.
Hasil yang diharapkan:
• Trauma fisik tidak terjadi
• Terjaganya batas kesadaran fungsi motorik
Intervensi:
• Jangan tinggalkan pasien sendiri saat kejang
R/: Secepatnya mengambil tindakan yang tepat dan menentukan asuhan keperawatan
• Perhatikan lingkungan
R/: Cegah terjadinya trauma
• Longgarkan pakaian yang sempit terutama bagian leher.
R/: Memperlancar jalan napas.
• Tidak boleh diikat selama kejang.
R/: Mengurangi ketegangan
• Beri posisi yang tepat (kepala dimiringkan)
R/: Membantu pembukaan jalan napas.
• Gunakan bantal tipis di kepala
R/: Membantu mengurangi tekanan intrakranial
• Disorientasikan kembali keadaan pasien dan berikan istirahat pada pasien.
R/: Melatih kemampuan berfikir, memelihara fungsi mental dan orientasi terhadap kenyataan.

e. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
Hasil yang diharapkan:
• Tidak ada gangguan jalan napas
• Lendir dapat batukkan/sekret dapat keluar.
• Pernapasan teratur.
Intervensi:
• Kaji pernapasan, suara napas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan obat tambahan.
R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi sekret
• Catat karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)
R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental
• Anjurkan minum 2500cc/hari.
R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan
• Beri posisi fowler
R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan bernapas
• Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi
R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret

f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfugsinya proses berpikir
Hasil yang diharapkan:
• Membuat pernyataan tentang body image
• Mengekspresikan penerimaan body image
• Menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mendapatkan informasi dan dukungan.
Intervensi:
• Kaji persamaan dan persepsi pasien tentang kurang berfungsinya proses berfikir dan ketidakmampuan mobilitas fisik.
R/: Menentukan tindakan keperawatan yang tepat.
• Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaan perubahan bod image
R/: Meningkatkan proses penerimaan diri.
• Dengarkan ungkapan pasien untuk menolak/menyangkal perubahan body image.
R/: Mengurangi rasa keterasingan terhadap perubahan body image.
• Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan rasa penerimaan diri.
R/: Memberikan dukungan untuk meningkatkan body image.

g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.
Hasil yang diharapkan:
• Berat badan normal
• Mengkonsumsi semua makanan yang disajikan.
• Terbebas dari malnutrisi.
Intervensi:
• Kaji kemampuan makan dan menelan.
R/: Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah terjadinya aspirasi
• Dengarkan suara peristaltik usus
R/: Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan adanya hiperperistaltik kemungkinan adanya komplikasi ileus.
• Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.
R/: Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi
• Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
R/: Meningkatkan nafsu makan.
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.
R/: Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah malnutrisi

h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik dan gangguan kognitif.
Hasil yang diharapkan:
• Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi.
• Pasien dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.

Intervensi:
• Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.
R/: Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi.
• Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.
R/: Menentukan asuhan keperawatan yang tepat.
• Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah sembuh.

i. Kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia
Hasil yang diharapkan:
• Kemampuan komunikasi verbal b.d aphasia
Intervensi:
• Kaji kemampuan pasien dalam komunikasi verbal
R/: Menentukan askep yang tepat
• Beri kesempatan pada pasien untuk menngungkapkan kebutuhannya
R/: Agar pasien terpenuhi kebutuhannya.
• Anjurkan pasien untuk mengungkapkan kebutuhannya dengan bahasa isyarat.
R/: Kebutuhan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.
• Ajarkan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.
R/: Kalimat pendek dan singkat tidak membuat pasien lelah dan bingung.

j. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d trauma sakit kepala.
Hasil yang diharapkan:
• Nyeri dapat berkurang sampai dengan hilang.
Intervensi:
• Kaji lokasi nyeri, intensitas dan keluhan pasien.
R/: Menentukan intervensi yang tepat
• Ajarkan teknik relaksasi tarik napas dalam
R/: Ketegangan saraf yang mengendor akan mengurangi rasa nyeri.
• Beri posisi tidur dengan kepala tanpa bantal
R/: Tekanan intrakranial turun akan mengurangi rasa nyeri
• Kolaborasi medik untuk pemberian analgetik
R/: Analgetik meningkatkan ambang rasa nyeri.
k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik
Hasil yang diharapkan:
• Tidak terjadi kerusakan kulit, dekubitus.
Intervensi:
• Kaji keadaan kulit pasien.
R/: Menentukan askep yang tepat.
• Beri posisi tidur miring kiri-terlentang kanan tiap 2 jam.
R/: Penekanan yang terlalu lama pada salah satu lokasi kulit akan menimbulkan nekrose
• Lakukan massage pada lokasi kulit yang terjadi penekanan
R/: Meningkatkan sirkulasi darah
• Jaga alat tenun tempat tidur pasuen kering dan tidak terlipat.
R/: Kain basah dan berlipat akan menimbulkan kerusakan pada kulit.

l. Perubahan pola eliminasi urine : inkontinensia atau retensi urine b.d terganggunya saraf kontrol.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien dapat mengontrol pengeluaran urine
Intervensi:
• Kaji pola berkemih
R/: Menentukan tindakan
• Catat intake dan output
R/: Mengetahui balance cairan
• Pasang kateter kondom
R/: Mencegah infeksi

4. Discharge Planning
a. Jelaskan pentingnya istirahat
b. Segera bawa ke rumah sakit bila ada keluhan
c. Minum obat secara teratur sesuai program medik
d. Libatkan keluarga dalam perawatan untuk cegah komplikasi.

Askep TBC

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar belakang
Masalah kesehatan paru merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Dewasa ini sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi TB. Ada sekitar delapan juga penderita baru TB di seluruh dunia perdarahan tahun dan hampir tiga juta meninggal akibat TB setiap tahun. Artinya, setiap detik akan ada satu orang yang terinfeksi TB dan setiap 10 detik akan ada satu orang yang meninggal karena penyakit ini. Hal ini disampaikan oleh dokter Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, dalam www/yahoo.com.
Masih menurut Tjandra, penyakit paru merupakan salah satu masalah kesehatan bagi bangsa Indonesia saat ini. berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT)) yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan, sekitar 30-40 persen penyakit dan penyebab kematian di Indonesia adalah penyakit paru dengan berbagai bentuknya. Buku SEAMIC Health Statistik 2002 menunjukkan bahwa setidaknya tiga penyakit paru merupakan bagian dari 10 penyebab kematian utama di Indonesia termasuk TBC, dan Indonesia adalah penyumbang kasus TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina.
Daya tahan tubuh menurun adalah salah satu faktor resiko yang mungkin memudahkan seseorang terserang mycobacterium tuberculosis, tetapi faktor lain yang juga dapat mendukung peningkatan terjadinya penyakit ini adalah gaya hidup, adanya polusi yang tinggi akibat bertambahnya industri-industri, serta mobilitas yang tinggi seperti di kota Jakarta ini, yang kesemuanya dapat menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menurun sehingga memudahkan untuk terserang penyakit termasuk penyakit TBC (masih menurut Tjandra Yoga Aditama dalam www/yahoo.com.
Seperti yang dikatakan dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TBC bahwa TBC adalah merupakan suatu penyakit menular yang membutuhkan terapi jangka panjang berkisar antara 6-12 bulan. Keadaan ini tentu saja membutuhkan kesabaran, ketekunan dan kerja sama yang baik dan berkesinambungan antara pasien, keluarga dan tim pelayanan kesehatan serta masyarakat mengingat banyak kejadian dimana pasien menghentikan sendiri pengobatan karena kondisi sudah membaik padahal secara klinis belum sembuh dari penyakit.
Melihat kenyataan di atas, perlunya penanganan serius bagi penderita TBC yang melibatkan berbagai tenaga kesehatan. Asuhan keperawatan komprehensif sangatlah penting dalam upaya pencegahan. Komplikasi lebih lanjut seperti: TBC perikarditis, peritonitis yang dapat menimbulkan kematian akibat penyakit ini. oleh karena itu besarlah peran perawat dalam mengatasi masalah ini yakni melalui:
1. Promotif yaitu meningkatkan dan memberi support pada masyarakat agar meningkatkan kondisi dan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi, istirahat yang cukup, olah raga yang cukup.
2. Preventif, adalah usaha pencegahan yang dapat dilakukan melalui penyuluhan demi meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan dan cara pencegahan penularan dan penemuan kasus dini.
3. Kuratif, dalam hal ini perawat melakukan asuhan keperawatan pada penderita untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, serta proses kolaborasi dengan tim medik lain dalam pengobatan sampai pada penyembuhan.
4. Rehabilitasi: sangat membutuhkan peran perawat dalam memberi penyuluhan perawatan diri serta mematuhi jadwal pengobatan.
Dengan dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang penyakit TBC ini.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memperdalam anatomi dan fisiologi penyakit TBC yang merupakan dasar dalam melakukan asuhan keperawatan secara langsung kepada penderita TBC.
2. Mengenal tanda dan gejala serta cara pencegahan dan pengobatan penyakit TBC, sehingga dapat menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan holistik.
3. Meningkatkan kemampuan perawat dalam menciptakan hubungan yang terapeutik pada keluarga dan pasien TBC.
4. Memenuhi ujian akhir DKA 400.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini:
1. Studi kepustakaan, dengan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan penyakit TBC.
2. Pengamatan kasus secara langsung di unit interna ruang Fransiskus untuk membandingkan dengan studi kepustakaan, yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, penatalaksanaan dan evaluasi.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini diawali dengan Bab I pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan. Bab II Tinjauan teoritis yang mencakup konsep dasar, yang terdiri dari definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik, terapi dan pengelolaan medik, komplikasi, konsep asuhan keperawatan dan perencanaan keperawatan, serta perencanaan pulang dan patoflowdiagram. Bab III Pengamatan kasus yang memuat pengkajian keperawatan, daftar obat, analisa data, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi. Bab IV memuat tentang pembahasan kasus dan Bab V kesimpulan serta diakhiri dengan daftar pustaka.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar Medik
1. Definisi
• Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2001, hal 584).
• Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosis (Lewis, 2000, hal 623).

Klasifikasi TBC
TBC diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pembagian secara patologis
1) TBC primer (Childhood tuberkulosis)
2) TBC post primer (adult tuberkulosis)
b. Pembagian secara aktivasi radiologis:
TBC paru aktif dan non aktif.
c. Pembagian berdasarkan kelainan klinis, radiologis, mikrobiologis:
1) Tuberkulosis paru
2) Bekas tuberkulosis paru
3) Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam:
- Tuberkulosis paru tersangka yang diobati: pada keadaan ini BTA negatif tetapi tanda-tanda lain positif.
- Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati: pada keadaan ini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Pada tahun 1974 American Thoracic society memberi klasifikasi baru sebagai berikut:
a. Kategori 0 : Tidak pernah terpapar dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak negatif, test tuberkulin negatif.
b. Kategori I: Terpapar tuberkulosis, tetapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat kontak positif, test tuberkulin negatif.
c. Kategori II: Terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak sakit. Test tuberkulin positif, radiologis dan sputum negatif.
d. Kategori III: Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
2. Anatomi Fisiologi
Sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli paru. Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia.
a. Hidung
Hidung terdiri atas bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disanggah oleh tulang hidung dan kartilago. Nares anterior (lubang hidung) merupakan ostium sebelah luar dari rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit yang disebut septum. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Ketika udara masuk ke rongga hidung, udara tersebut oleh bulu-bulu hidung disaring oleh selaput mukosa lendir, dihangatkan dan dilembabkan. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung.
b. Faring/Tenggorokan
Faring/tenggorokan adalah suatu struktur tuba, yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan terdapat di bawah dasar tenggorokan di belakang rongga hidung. Faring berhubungan ke atas dengan rongga hidung ke depan dengan rongga mulut. Faring terdiri dari nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring terletak di posterior hidung dan di atas palatum mole. Pintu masuk laring dibentuk oleh epiglotis. Adenoid atau tonsil yang terletak dalam langit-langit nasofaring. Fungsi faring untuk menyediakan saluran traktus respiratorius terhadap serangan organisme yang memasuki tenggorokan.


c. Laring/organ suara
Adalah suatu struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea. Fungsi utama laring adalah memungkinkan terjadinya vokalisasi, melindungi jalan nafas bagian bawah dari obstruksi benda asing, dan memudahkan batuk. Laring sering disebut sebagai kotak suara.
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorok kira-kira sembilan cm panjangnya. Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda, yang panjangnya kurang lebih 5 inchi, serta dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, dengan gerakan silia maka debu yang masuk ke saluran pernafasan dapat dikeluarkan. Trakea berjalan dari ini laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke-5 dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus. Tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan disebut karina.
e. Bronkus dan bronkiolus
Bronkus terbentuk dari belahan dua trakea. Bronkus kanan lebih pendek dari bronkus kiri dan lebih lebar dari pada yang kiri. Pada bronkiolus (bronkus yang bercabang lebih kecil) tidak terdapat cincin dan pada ujung bronkiolus terdapat gelembung paru atau alveoli. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi bronkus lobarus dan bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil, yang menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru. Setelah bronkus alveoli terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari: (1) Bronkiolus respiratorius yang terkadang memiliki kandung udara, kecil atau alveoli pada dindingnya (2) Duktus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolus (3) Sakus alveolaris terminalis merupakan struktur akhir paru-paru.


f. Alveoli
Paru-paru ada 2 dan merupakan alat pernafasan utama. Paru-paru mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga (pleura parietal) dan permukaan yang menyentuh paru-paru (pleura viseral) antara kedua pleura terdapat ruangan yang mengandung cairan berfungsi melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi. Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga thoraks menjadi dua bagian. Paru kanan dibagi menjadi 3 lobus yaitu lobus atas, tengah dan bawah, dan paru kiri menjadi 2 lobus atas dan 6 bawah.
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juga alveoli dan berfungsi sebagai empat pertukaran O2 dan CO2. Alveli terdapat 3 jenis sel-sel alveolar tipe 1 adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar. Tipe 2 sel-sel yang aktif secara metabolik mensekresi surfaktan suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps.
Tipe 3 makrofag yang merupakan sel-sel fagositosis yang besar yang memakan benda asing (lendir, bakteri) dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting.
Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri bronkialis yang berasal dari aorta thorakalis berjalan sepanjang dinding posterior bronkiolus dan arteri pulmonalis dari ventrikel kanan ke paru-paru.
Tiga proses yang berhubungan dengan pernafasan:
1) Ventilasi: adalah udara bergerak masuk dan keluar paru-paru. Karena ada selisih antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot.
2) Difusi: adalah proses dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 pada tempat pertemuan udara dan darah. Membran alveolar kapiler merupakan tempat yang ideal untuk difusi karena membran ini mempunyai permukaan yang luas dan tipis.
3) Perfusi: pengisian kapiler pulmonar dengan darah, perfusi pulmonal adalah aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal. Darah dipompakan ke paru-paru oleh ventrikel kanan melalui arteri pulmonal. Arteri pulmonal terbagi menjadi cabang kanan dan kiri untuk mensuplai kedua paru normalnya sekitar 2%.
Mekanisme ventilasi perfusi adalah pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Mekanisme ventilasi disebut dengan istilah volume paru dan kapasitas paru. Volume paru dibagi menjadi volume tidal (500 ml), volume cadangan inspirasi (3000 ml), volume cadangan ekspirasi (1100 ml) dan volume residual, (1200 ml) dan ruang ruas pernafasan dimana tidak terjadi pertukaran as 150 ml.



3. Etiologi
TBC paru disebabkan oleh kuman tahan asam yaitu: mycobacterium tuberculosis. Adapun faktor resiko yang mungkin terjadi antara lain:
a. Adanya kontak langsung dengan seseorang yang menderita tuberkulosis aktif.
b. Terganggunya kekebalan tubuh, misalnya seseorang dengan HIV, kanker, dan seseorang yang dalam pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang.
c. Ketergantungan obat atau alkoholik.

4. Patofisiologi
Individu rentan yang menghirup basil tuberkulosis dan menjadi terinfeksi. Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka terkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (Lobus atas).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri, limfosit spesifik-tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi dan sampai 10 minggu setelah pemajanan.
Masa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi, membentuk skar kolagenosa, bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Tuberkel ghon memecah, melepaskan bahan seperti ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah sembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut. Pembentukan tuberkel dan selanjutnya.
Sifat kuman:
- Kuman lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan fisik kimia karena sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak.
- Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin dalam lemari es dan dapat hidup bertahun-tahun, kuman juga bersifat aerob; yaitu menyenangi jaringan yang tinggi kandung O2-nya.

5. Tanda dan Gejala
a. Demam ringan, berkeringat waktu malam.
b. Sakit kepala
c. Takikardi
d. Anoreksia
e. Penurunan berat badan
f. Malaise
g. Keletihan
h. Nyeri otot
i. Batuk: pada awal non produktif
j. Sputum bercampur darah
k. Sputum mukopurulen
l. Krekels/rales di atas apeks paru
m. Nyeri dada

6. Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan fisik
1) Yang paling dicurigai adalah pada apeks paru.
2) Bila ada infiltrat yang luas akan didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi nafas bronkhial didapatkan ronchi basar kasar dan nyaring/rales.
3) Pada tuberkulosa lanjut dan fibrosis luas ditemukan atrofi dan retraksi otot interkosta.
4) Apabila tuberkulosa mengenai pleura akan terjadi efusion paru, paru-paru yang sakit akan terasa sulit untuk bernafas, dengan perkusi akan menimbulkan suara pekak dan dengan auskultasi nafas melemah sampai tidak terdengar.
b. Pemeriksaan laboratorium
1) Laju endap darah meningkat
2) Leukosit meningkat
3) Sputum sediaan langsung positif terhadap mycobacterium tuberkulosa.
4) Biakan positif terhadap mikobakterium tuberkulosa.
5) BTA dapat positif
c. Pemeriksaan rontgen: foto thorax membantu dalam membentuk diagnosa:
1) Lesi tuberkulosis dapat ditemukan pada apeks paru, bisa juga terdapat pada lobus bawah/hilus.
2) Pada pneumonia gambarnya jelas berupa bercak-bercak awan dengan batas tegas.
3) Pada atelektasis terlihat seperti gambaran fibrosis dan penciutan paru.
4) Pada TBC milier akan terlihat bercak-bercak halus di seluruh lapang paru dan ada pleuritis.
5) PPD test: pada pemeriksaan tuberkulosis PPD test (purified protein derivate) positif bila diameter mencapai 10 mm atau lebih sesudah 48-72 jam.

7. Pengobatan
a. Obat utama: INH, ethambutol, rimfampicin, streptomycin
b. Obat sekunder: PAS, pirazinamid, ethambutol
c. Analgetik
d. Diet TKTP
e. Isolasi pencegahan penularan
f. Tindak lanjut, penyuluhan terhadap keluarga dan orang yang sering kontak dengan pasien

8. Komplikasi
a. Atelektasis/penyempitan bronkus
b. Hemaptoe
c. TBC milier
d. Pneumothorax
e. TBC perikarditis, peritonitis, meningitis, limfadenitis
f. Kambuh kembali

B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Data Fokus
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
1) Riwayat batuk produktif lebih dari 2 minggu.
2) Adanya hemaptoe.
3) Kaji tempat kaji tempat tinggal, ventilasi, cahaya matahari, sumber polusi sekitar rumah, kontak dengan penderita aktif dan perokok.
4) Kedisiplinan dalam pengobatan dan kurang pengetahuan.
b. Pola nutrisi metabolik
1) Tidak nafsu makan
2) Mual, muntah
3) Meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari
4) Banyak keringat di malam hari tanpa aktivitas
5) BB turun
6) Kaji pola makan dan asupan makanan
c. Pola aktivitas latihan
1) Malaise
2) Batuk produktif > dari 2 mg
3) Hemaptoe
4) Batuk dan sesak nafas
d. Pola tidur dan istirahat
1) Tidur terganggu akibat batuk dan sesak nafas; serta berkeringat di malam hari.
e. Pola persepsi sensori
1) Nyeri dada
2) Kurang pengetahuan tentang penyakit
f. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
1) Pasien gelisah, takut karena dirawat
2) Pasien cemas dan malu dengan penyakitnya

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan adanya eksudat dalam alveoli dan penurunan fungsi permukaan paru.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan peningkatan sputum dan penurunan usaha untuk batuk.
c. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan peradangan dan kelelahan.
d. Perubahan temperatur tubuh: hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan panas dan kekurangan intake cairan akibat kelelahan.
f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan, kelelahan dan dispnea.
g. Resiko tinggi penyebaran infeksi pada orang lain berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh orang lain yang ada di sekitar penderita.
h. Manajemen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit.
i. Intoleransi beraktivitas berhubungan dengan keletihan, perubahan status nutrisi dan demam.

3. Perencanaan Keperawatan
DP.1 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya eksudat dalam alveoli dan penurunan fungsi permukaan paru.
HYD: Tidak ada sesak nafas, pertukaran gas adekuat, AGD dalam batas normal.
Intervensi:
1. Observasi frekuensi, irama, dan kedalaman pernafasan tiap 4 jam.
R/ Sebagai acuan untuk tindakan selanjutnya.
2. Beri posisi tidur yang nyaman (semi fowler).
R/ Meningkatkan ekspansi paru.
3. Observasi tanda sianosis pada kulit, membran mukosa dan kuku.
R/ Mengevaluasi keadekuatan oksigen.
4. Beri kesempatan istirahat yang cukup.
R/ Mengurangi kebutuhan energi.
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen.
R/ Pemenuhan kebutuhan oksigenisasi yang adekuat.
6. Kolaborasi dengan medis untuk pemberian AGD dan foto thoraks.
R/ Untuk mengevaluasi keberhasilan adekuatan.

DP.2 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan peningkatan sputum dan penurunan usaha untuk batuk.
HYD: Meningkatkan kebersihan jalan nafas yaitu dengan berkurangnya sekresi dan perbaikan usaha klien untuk batuk.
Intervensi:
1. Anjurkan klien minum 8 gelas air/2 liter air perhari (selain susu) untuk pengenceran sekresi sedangkan susu dapat meningkatkan sekresi.
R/ Yakinkan klien bahwa air melembabkan pernafasan.
2. Yakinkan klien bahwa air melembabkan pernafasan.
R/ Kelembaban membantu sekresi serta memungkinkan jalan nafas lebih besar.
3. Anjurkan klien untuk batuk efektif dan nafas dalam.
R/ Teknik batuk yang tepat menjadi cara untuk mengeluarkan sputum.
4. Anjurkan klien untuk istirahat antara interval batuk dan untuk merubah posisi setiap 12 jam bila memungkinkan.
R/ Istirahat dan berganti posisi membantu untuk mengurangi kelelahan menyeluruh dan pengeluaran sputum, memasukkan O2 untuk regenerasi dalam sel.
5. Jelaskan pada klien maksud penggunaan ekspektoransia jika ditemukan.
R/ Ekspektoransia menolong untuk melonggarkan jalan nafas dan pengeluaran sekret.
6. Observasi karakteristik sputum yang keluar, perubahan warna, bau konsistensi/jumlah. Laporkan segera kalau ada perubahan.
R/ Sputum normal adalah encer dan berwarna putih bening bila bercampur darah, purulen dapat menunjukkan komplikasi.

DP.3 Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan peradangan dan kelelahan.
HYD: Meningkatkan oksigenisasi yang adekuat dengan memperbaiki/ memperkecil kecemasan klien dan memperbesar hati klien untuk istirahat adekuat.
Intervensi:
1. Observasi adanya tanda distres pernafasan seperti: jumlah pernafasan, retraksi sternal dan intercosta, nafas faring, segera lapor dokter bila ada tanda tersebut.
R/ Tanda dan gejala ini dapat menjadi tanda yang serius dan komplikasi tuberkulosis, perikarditis dan peritonitis.
2. Kaji nyeri dan kecemasan klien.
R/ Peningkatan nyeri dan cemas dapat membuat klien merasa sesak: mengurangi ekspansi paru dan dapat menyebabkan atelektasis, hipoksia.
3. Ajarkan klien menelan dada dengan bantal/turgor sewaktu batuk untuk mengurangi nyeri.
R/ Dengan menekan dada dapat mengurangi nyeri.
4. Jelaskan klien maksud dan tujuan dari analgetik.
R/ Analgetik membantu mengurangi nyeri dan membantu klien untuk dapat ekspansi paru yang penuh saat bernafas.
5. Jelaskan klien maksud dan tujuan obat penekan batuk.
R/ Penekanan pada batuk mengurangi frekuensi batuk sehingga klien dapat istirahat nyaman.

DP.4 Perubahan temperatur tubuh: hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
HYD: Mencegah, mengontrol panas.
Intervensi:
1. Ajarkan klien untuk menggunakan termometer dan membaca hasil dengan tepat.
R/ Penggunaan termometer penting untuk memonitor panas tubuh.
2. Anjurkan klien untuk banyak minum dan jelas klien dan keluarga bila ada tanda dehidrasi, mulut kering, kehausan yang hebat.
R/ Peningkatan suhu, penurunan urin output dan gelisah, kebutuhan cairan bertambah besar pada saat panas dan metabolisme tubuh meningkat.
3. Jelaskan pada klien maksud dan tujuan pemberian antipiretik.
R/ Antipiretik bekerja pada pusat hipotalamus untuk regulasi pengaturan suhu tubuh.
4. Jelaskan maksud dan tujuan pemberian antituberkulosa.
R/ Anti TBC mencegah pertumbuhan mikroorganisme.
5. Anjurkan klien mencari bantuan medik bila panas untuk mendapatkan antipiretik dan antibiotik.
R/ Pengobatan ini dapat menggunakan mikroorganisme penyebab.

DP.5 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan panas dan kelelahan.
HYD: Membuat klien mencapai pemenuhan jumlah cairan yang normal.
Intervensi:
1. Anjurkan klien dan keluarga untuk mengenal tanda dehidrasi.
R/ Indikasi defisit volume cairan.
2. Anjurkan klien banyak minum jika tidak ada kontraindikasi.
R/ Intake cairan yang adekuat dapat mengembalikan status hidrasi.
3. Sediakan air minum yang dibutuhkan.
R/ Kebutuhan yang diperlukan apa bila tersedia memudahkan untuk terpenuhi.
4. Ukur pemasukan dan pengeluaran dalam 24 jam.
R/ Kebutuhan terpenuhi atau tidak dapat dilihat dari pemantauan yang tepat.
5. Laporkan pada dokter bila ada tanda-tanda dehidrasi untuk kolaborasi pemberian cairan intravena.
R/ Memungkinkan memenuhi kebutuhan cairan yang kurang atau hilang.

DP.6 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan, kelelahan dan dispnea.
HYD: Mempertahankan intake nutrisi adekuat.
Intervensi:
1. Monitor BB klien saat diit, kekurangan BB yang drastis.
R/ Indikasi insufisiensi protein kalori yang menyebabkan malnutrisi dan menurunkan pertahanan tubuh.
2. Menentukan diet klien sesuai makanan kesukaan dan evaluasi serta catat hasil.
R/ Karena kecelakaan kurang nafsu makan, pasien dapat kehilangan intake kalori untuk energinya.
3. Beri makan sedikit-sedikit makanan tinggi kalori dan protein; akan sedikit-sedikit sangat bermanfaat.
R/ Makan sekali banyak dapat menyebabkan distensi lambung dan penekanan diafragma. Diet tinggi kalori dan protein membangun pertumbuhan jaringan dan mengganti jaringan yang rusak sehingga menambah pertahanan tubuh dan memberi energi.
4. Instruksikan klien untuk istirahat sebelum makan.
R/ Kelelahan dapat mengurangi semangat klien untuk makan.
5. Jelaskan bahwa asupan nutrisi yang cukup sangat penting bagi kekuatan tubuh.
R/ Pengertian yang cukup dapat memberi semangat dan menambah kemauan.

DP.7 Resiko tinggi penyebaran infeksi pada orang lain berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh orang lain yang ada di sekitar penderita.
HYD: Dapat mencegah dan menurunkan penyebaran infeksi, Klien dan keluarga melakukan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman.
Intervensi:
1. Ajarkan pasien cara membuang sputum yang benar.
R/ Mencegah penyebaran kuman ke orang lain.
2. Dorong pemasukan nutrisi yang adekuat bagi orang yang ada di sekitar penderita.
R/ Dengan nutrisi yang adekuat membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
3. Beri penyuluhan kepada orang-orang yang berada atau selingkungan dengan penderita untuk menjaga aktivitas serta olah raga teratur.
R/ Dengan olah raga teratur dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penularan TBC.
4. Anjurkan segera periksa ke dokter jika mengalami tanda/gejala TBC.
R/ Penemuan kasus dini dapat mencegah penularan dan komplikasi lebih lanjut.

DP.8 Manajemen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit.
HYD: 1. Pasien mengatakan pemahaman proses penyakit.
2. Melakukan perilaku atau perubahan pola hidup.
3. Mengidentifikasi gejala yang memerlukan evaluasi/intervensi
Intervensi:
1. Identifikasi gejala yang harus dilaporkan ke perawat, contoh batuk darat, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
R/ Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
2. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, alasan pengobatan yang lama.
R/ Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
3. Kaji efek samping pengobatan misalnya mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, hipertensi ortostatik.
R/ Mencegah/menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan terapi dan meningkatkan kerjasama dan program pengobatan.
4. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.
R/ Memenuhi kebutuhan metabolik, membantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penyembuhan.
5. Tekankan kebutuhan untuk tidak minum alkohol sementara minum INH.
R/ Kombinasi INH dan alkohol telah menunjukkan peningkatan insiden hepatitis.
6. Rujuk untuk pemeriksaan mata setelah memulai dan kemudian tiap bulan selama minum ethambutol.
R/ Efek samping utama menurunkan penglihatan, tanda awal menurunnya kemampuan untuk melihat warna hijau.
7. Ajarkan bagaimana TB ditularkan (khususnya dengan inhalasi organisme udara tetapi dapat juga menyebar melalui faeces atau urin bila infeksi dan bahaya reaktivasi.
R/ Pengetahuan dapat menurunkan resiko penularan atau reaktivasi ulang.
8. Anjurkan klien untuk tidak merokok.
R/ Merokok dapat meningkatkan disfungsi pernafasan atau bronkitis.

DP.9 Intoleransi beraktivitas berhubungan dengan keletihan, perubahan status nutrisi dan demam
HYD: Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan:
- Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
- Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
Intervensi:
1. Observasi tanda-tanda vital.
R/ Untuk mengetahui keadaan umum pasien.
2. Kaji kemampuan klien untuk beraktivitas.
R/ Menentukan intervensi yang tepat.
3. Berikan aktivitas dan istirahat yang cukup.
R/ Mengurangi kebutuhan metabolisme.
4. Bantu pasien memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai dengan tingkat keterbatasan pasien.
R/ Bantuan sangat diperlukan dalam kondisi lemah.
5. Letakkan barang-barang di tempat mudah dijangkau.
R/ Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa dibantu oleh orang lain.
6. Kaji keluhan pasien.
R/ Untuk mengidentifikasi masalah klien.

4. Perencanaan Pulang
a. Anjurkan pasien patuh terhadap regimen terapeutik.
b. Berikan penyuluhan tentang obat-obatan, jadwal dan efek samping.
c. Anjurkan untuk pola hidup sehat, tidak merokok tidak minum alkohol dan makan gizi seimbang.
d. Anjurkan menjaga kebersihan lingkungan.
e. Anjurkan klien menutup mulut bila batuk, dengan tangan atau saputangan.
f. Anjurkan follow up secara teratur sesuai jadwal.


C. Patoflo Diagram
Mikrobacterium tuberkulosis

Makanan/minuman
yang tercemar

Lambung

Tidak mati

Meradang di usus

Masuk melalui
villy


Masuk aliran
darah





Pecah

Erosi pada bronkus

Terbentuk caverne

Seluruh lobus paru

Jaringan paru rusak

Permeabilitas pembuluh
darah 

Pengeluaran cairan
dalam rongga pleura

Pleura effusion



BAB III
PENGAMATAN KASUS


Ny. L berusia 45 tahun, agama Islam, suku Jawa, sudah menikah dan mempunyai 4 orang anak. Dirawat di unit Fransiskus kamar 48 bed 1 RS Sint Carolus. Masuk RS tanggal 25 Juli 2005 dengan diagnosa medik Bronchopneumoni KP Duplex. Keluhan utama klien saat masuk adalah sesak nafas, lemas, batuk-batuk, makan dan minum terasa sulit karena sakit kerongkongannya. Saat menelan dan panas sudah 3 minggu serta nyeri punggung sudah 10 minggu sampai dengan tanggal masuk.
Pada saat pengkajian tanggal 3 Agustus 2005, diagnosa medik pasien adalah KP Duplex. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, terpasang O2 2 liter/M’, mengeluh lemas dan pusing; pandangan kabur (melihat seseorang seolah-olah 2 orang). Kadang-kadang dada terasa nyeri, batuk-batuk, banyak sekret tetapi sulit untuk dikeluarkan, merasa mual dan kurang nafsu makan, sering panas dan keringat dingin pada lam hari. Susah tidur karena batuk dan sesak serta nyeri pada punggung. Observasi didapat S: 36,8oC, N: 82 x/m, HR: 84 x/m, TD: 100/60 mmHg.
Hasil laboratorium tanggal 2 Agustus 2005: Hb turun menjadi 9,4 gr%, LED naik menjadi 75 ml/jam, Albumin 32 mg/dl, Globulin 3,7 mg/dl, Fosfatase alkali 440 md/dl, SGOT/SGPT: 37/46 mg/dl, Gama GT 85 mg/dl, Photo Thorax menunjukkan jantung agak melebar ke kiri dengan batas kanan dan kiri tegas. Kesuraman inhomogen di parakardial kanan, suspek infiltrat, pasien mengatakan sebelum masuk RS Sint Carolus, pasien berobat ke puskesmas karena batuk-batuk dan diberi obat anti TBC yaitu: Riphamficin, INHF, Pirazinamide, dan Ethambutol. Sudah satu bulan sampai dengan tanggal masuk RS pasien mengkonsumsi obat ini. selama mengkonsumsi obat-obat di atas, pasien mengatakan selalu kencing berwarna merah, pandangan mata mulai kabur, serta nyeri pada tulang dan otot. Telinga sering berdengung. Pasien juga mengatakan biasa merokok dan baru berhenti merokok 1 tahun yang lalu. Serta sering tidur larut malam. BB turun drastis dari 50 kg menjadi 45 kg, sebulan yang lalu turun lagi menjadi 35 kg. Saat pengkajian BB 35 kg.
Berdasarkan data-data yang diperoleh saat pengkajian dan pengamatan kasus, diagnosa keperawatan yang dapat diangkat adalah gangguan pertukaran gas b.d adanya eksudat dalam alveoli, dan penurunan fungsi permukaan paru; Intoleransi beraktivitas b.d kelelahan dan sesak nafas, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan nafsu makan, kelelahan dan dispnoe, ketidakefektifan jalan nafas b.d peningkatan sputum dan penurunan usaha untuk batuk, cemas b.d proses penyakit dan penyembuhan yang lama seta ketidakefektifan regimen terapeutik b.d kurang pengetahuan tentang penyakit.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah memenuhi segala macam kebutuhan dasar pasien, mendekatkan alat-alat yang dibutuhkan pasien, memberi posisi yang nyaman (semi fowler) untuk pasien, menjalankan terapi obat yang ada, mengajarkan teknik batuk efektif dan menimbang BB pasien, menganjurkan banyak minum air putih dan menganjurkan pasien untuk banyak istirahat.
Pada evaluasi, masalah yang diangkat yakni gangguan pertukaran gas, intoleransi beraktivitas, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakefektifan bersihan jalan nafas masih terjadi karena masih terpasang O2 2 liter/m, klien masih lemah dan pusing, segala kebutuhan dasarnya masih dibantu, mual masih ada.

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS


Dari pengamatan yang dilakukan pada pasien Ny. L, selama 1 hari di unit Fransiskus kamar 48 Bed 1, penulis dapat melihat, membandingkan serta menerapkan sebagian teori yang didapat dari perkuliahan dan literatur yang terkait dengan KP Duplex atau TBC. Selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien tersebut, penulis menemukan perbedaan dan persamaan antara teori dan kasus di lapangan.

A. Pengkajian
Penyebab utama terjadinya TBC adalah mycobacterium tuberculosis, dengan salah satu faktor resiko yang terjadi adalah terganggunya kekebalan tubuh. Teori mengatakan bahwa ketika daya tahan tubuh seseorang menurun kuman ini akan mudah berkembang di dalam tubuh individu yang bersangkutan. Menurut penulis, menurunnya kekebalan tubuh adalah faktor utama yang menyebabkan Ny. L menderita TBC; karena Ny. L adalah seseorang perokok dan kebutuhan istirahat (waktu tidur) hanya 4-5 jam/hari. Kebiasaan inilah yang menjadi pemicu Ny. L tertular mycobacterium tuberculosis.
Hampir semua tanda dan gejala yang ada pada teori terdapat pada klien, dimana pada teori dikatakan bahwa penderita dengan TBC akan mengalami demam ringan, berkeringat waktu malam, sakit kepala, anoreksia, penurunan berat badan, malaise atau lemas, nyeri otot, keletihan, batuk produktif dalam waktu yang lama, sputum mukopurulen dan nyeri dada. Semua tanda dan gejala ini ada pada pasien, kecuali sputum bercampur darah. Hal ini terjadi mungkin karena tubercel yang ada dalam paru-paru pasien belum pecah.
Hasil tes diagnostik yang ada pada Ny. L juga sangat mendukung bahwa pasien ini menderita TBC yaitu: PPD test positif, foto thoraks menunjukan adanya kesuraman inhomogen pada parakadial kanan, suspek infiltrat, lap ini menunjukan adanya infeksi dan eksudat dalam paru-paru. Sedangkan hasil tes laboratoriumnya LED sangat tinggi yaitu 75 yang menunjukan adanya infeksi dalam tubuh.
Selain hasil laboratorium yang mendukung adanya infeksi kuman mycobacterium juga terdapat hasil lab lain yang menunjukan adanya gangguan fungsi hepar yaitu: albumin 3,2 mg/dl, globulin 3,7 mg/dl, SGOT 37 mg/dl, SGPT mg/dl, Gamma GT: 85 mg/dl. Menurut penulis salah satu kemungkinan terganggunya fungsi hepar ini disebabkan oleh efek samping obat anti TBC yang pernah dikonsumsi oleh pasien dalam waktu 1 bulan karena kontra indikasi dari obat-obat anti TBC di atas adalah pasien dengan hepatitis, sedangkan pasien ini mempunyai riwayat sakit hepatitis.
Berdasarkan klasifikasi TBC maka Ny. L termasuk dalam TBC Post Primer (pembagian secara patologis), TBC aktif (pembagian secara aktivitas radiologi), serta berdasarkan kelainan klinis, radiologis, mikrobiologis termasuk dalam Tuberkulosis paru, dan menurut klasifikasi yang diberikan oleh American Thoracic Society pada tahun 1974 maka Ny. L termasuk dalam kategori III yaitu terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Komplikasi-komplikasi seperti yang terdapat dalam teori belum ditemukan pada pasien. Kemungkinan hal ini terjadi karena pasien segera berobat setelah mengalami gejala-gejala TBC, meskipun pasien tidak mengetahui bahwa gejala yang dialami adalah gejala-gejala TBC.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ada dalam teori adalah:
1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya eksudat dalam alveoli dan penurunan fungsi permukaan paru.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d peningkatan sputum dan penurunan usaha untuk batuk.
3. Ketidakefektifan pola nafas b.d peradangan dan kelelahan.
4. Kurangnya volume cairan b.d panas dan kurangnya intake cairan akibat kelelahan.
5. Perubahan temperatur tubuh hipertermi b.d proses infeksi.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan, kelelahan dan dispnea.
7. Resiko tinggi penyebaran infeksi pada orang lain b.d penurunan daya tahan tubuh pada orang lain.
8. Manajemen terapeutik tidak efektif b.d kurang pengetahuan tentang proses penyakit.
9. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, perubahan status nutrisi dan demam.
7 dari 9 diagnosa di atas terdapat pada pasien kecuali diagnosa ke-4 dan ke-5 namun karena keterbatasan waktu penulis hanya mengangkat 4 diagnosa prioritas di atas yang terdapat pada pasien yaitu diagnosa: 1, 2, 6, 8, dan 9 namun penulis juga menemukan satu diagnosa lain yang tidak terdapat pada teori yaitu: kecemasan berhubungan dengan penyakit yang lama, karena data-data sangat mendukung diagnosa ini meskipun diagnosa ini juga tidak diangkat oleh penulis karena keterbatasan waktu.

C. Rencana Keperawatan
Walaupun banyak rencana keperawatan yang ada pada teori dan yang menjadi permasalahan terhadap pasien tapi tidak semua rencana itu dapat dilaksanakan oleh karena itu rencana keperawatan telah disesuaikan dengan prioritas masalah dan waktu yang ada.

D. Pelaksanaan
Sehubungan dengan keterbatasan waktu maka penulis mencoba mengupayakan untuk mencoba menerapkan asuhan keperawatan langsung kepada pasien dengan melihat prioritas masalah dan tetap dimodifikasi dengan kebutuhan dan kondisi klien.

E. Evaluasi
Dari keempat diagnosa yang diangkat menjadi prioritas masalah telah diupayakan untuk dilakukan asuhan keperawatan namun keempat diagnosa ini belum teratasi hasil yang diharapkan belum tercapai. Oleh karena itu perencanaan keperawatan atas keempat diagnosa tersebut masih perlu diteruskan termasuk diagnosa-diagnosa yang lain yang ditemukan pada pasien tetapi tidak sempat diangkat sebagai diagnosa prioritas. Diagnosa-diagnosa tersebut masih perlu diteruskan dan intervensi lebih lanjut dan didelegasikan kepada perawat di ruangan.


BAB V
KESIMPULAN


Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang semua golongan usia, terutama pada seseorang yang daya tahan tubuh rendah karena malnutrisi, tinggal di lingkungan yang padat serta sirkulasi udara yang tidak baik.
Karena penyakit ini adalah penyakit menular maka peran perawat ditekankan pada pemberian penyuluhan tentang pencegahan seperti: makan bergizi, istirahat teratur, olah raga serta memperhatikan ventilasi terhadap luas bangunan, sedangkan untuk anak-anak dapat dilakukan pencegahan dengan imunisasi BCG.
Selain itu penyakit ini memerlukan waktu yang lama dalam pengobatannya. Sehingga kepatuhan dan kesabaran tinggi dari pasien untuk menjalankan terapi sampai selesai sangatlah penting. Oleh karena itu perawat harus berperan sebagai motivator bagi pasien.
Bagi pasien sendiri perlu dimotivasi untuk menjalankan terapi secara teratur dan merubah gaya hidup yang lebih sehat.


DAFTAR PUSTAKA


Brunner and Suddarth. `996. Textbook of Medical Surgical Nursing. USA: Philadelphia. Alih Bahasa, Waluyo, Agung. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilynn. 2000. Nursing Care Plans Guidelines Planning and Documenting Patient Care. USA: Philadelphia. Alih Bahasa: Kariasa, Made. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Hardjasaputra, Purwanto. 2002. Data Obat Indonesia. Jakarta: Grafidian Medipress.

Lewis, Sharon Mantik. 2000. Medical Surgical Nursing Assessment and Management and Clinical Problem. USA, Philadelphia: Mosby.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius: FKUI.

Price, Sylvia. 1992. Pathophysiologi Clinical Concepts of Disease Processes. Mosby. Alih Bahasa: Anugerah, Peter. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Soeparman, Sarwono Waspadji. 2002. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. FKUI.

Asuhan Keperawatan Pada Skabies

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SKABIES
A. Definisi
Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung.
B. Etiologi
Scabies ditularkan oleh kutu betina yang telah dibuahi, melalui kontak fisik yang erat. Penularan yang melalui pakaian dalam,handuk, seprei,tempat tidur, perabot rumah, jarang terjadi. Kutu dapat hidup diluar kulit hanya 2-3 hari dan pada sughu kamar 21 °C dengan kelembaban relative 40-80%.
Kutu betina berukuran 0,4-0,3 mm. Kutu jantan membuahi kutu betina, dan kemudian mati. Kutu betina, setelah impregnasi, akan menggali lobang ke epidermis, kemudian membentuk terowongan didalam stratum korneum. Kecepatan menggali teowongan 1-5 mm/hari. Dua hari setelah fertilisasi, scabies betina mulai mengeluarkan telur yang kemudian berkembang melalui stadium larva, nimpa dan kemudian menjadi kutu dewasa dalam 10-14 hari. Lama hidup kutu betina kira-kira 30 hari. Kemudian kutu mati di ujung terowongan. Terowongan lebih banyak terdapat didaerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea.
Masa inkubasi scabies bervariasi, ada yang beberapa minggu bahkan berbulan-bulan tanpa menunjukan gejala. Mellanby menunjukan sensitisasi dimulai 2-4 minggu setelah penyakit dimulai. Selama waktu itu kutu berada diatas kulit atau sedang menggali terowongan tanpa menimbulkan gatal. Gejala gatal timbul setelah penderita tersensitasi oleh ekskreta kutu.
C. Epidemiologi
Skabies merupakan penyakit endemic pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insidens sama pada pria dan wanita.
Insidens scabies di negara berkembang menunjukan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemic dan permulaan epidemic berikutnya kurang lebih 10-15 tahun.
Beberapa factor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual.
Insidennya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tinggi di Jawa Barat. Amiruddin dkk, dalam penelitian scabies di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, menemukan insidens penderita scabies selama 1983-1984 adalah 2,7%. Abu A dalam penelitiannya di RSU Dadi Ujung Pandang mendapatkan insidens scabies 0,67% (1987-1988).
D. Diagnosis dan Gambaran Klinik
Erupsi bervariasi, tergantung pengobatan sebelumnya, iklim dan status imunologi penderita. Kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan disertai papula, vesikula, urtika dan lain-lain.
Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Didaerah tropis, hamper setiap kasus scabies terinfeksi sekunder oleh Streptococcus aureus atau Staphylococcus Pyogenes
Diagnosis scabies ditegakkan atas dasar :
1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampak vesikula, papula, atau pustule.
2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilicus, abdomen bagian bawah, genetalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang terdapat dimuka dan kepala, kecuali pada penderita imunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit.
3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topical yang efektif.
4. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya scabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperature tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan kutu dewasa, telur, larva atau skibalanya dari dalam terowongan. Cara mendapatkannya adalah dengan membuka terowongan dan mengambil parasit dengan menggunakan pisau bedah atau jarum steril. Kutu betina akan tampak sebagai bintik kecil gelap atau keabuan dibawah vesikula. Dibawah mikroskop dapat terlihat bintik mengkilat dengan pinggiran hitam. Cara lain ialah dengan meneteskan minyak immerse pada lesi dan epidermis diatasnya dikerok secara perlahan-lahan. Woodley dkk, mengajurkan penggunaan tinta hitam pada terowongan. Tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat terbanyak ditemukan kutu, kemudian berturut-turut siku, genetalia pantat dan akhirnya aksila.
Selain bentuk scabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk khusus yaitu :
1. Skabies pada orang bersih
Skabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya cukup bisa salah didiagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.
2. Skabies pada bayi dan anak
Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat dimuka.
3. Skabies yang ditularkan oleh hewan
Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak. Dan akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih.


4. Skabies noduler
Nodul terjadi akibat reaksi hipersensitivitas. Tempat yang sering dikenai adalah genetalia pria, lipat paha dan aksila. Lesi ini dapat menetap beberapa minggu hingga beberapa bulan, bahkan hingga satu tahun walaupun telah mendapat pengobatan anti skabies.
5. Skabies inkognito
Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan respon imun seluler.
6. Skabies terbaring ditempat tidur (bed ridden)
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.
7. Skabies krustosa (Norwegian scabies)
Lesinya berupa gambaran eritrodermi, yang disertai skuama generalisata, eritema, dan distrofi kuku. Krusta terdapat banyak sekali. Krusta ini melindungi Sarcoptes scabiei dibawahnya. Bentuk ini mudah menular karena populasi Sarcoptes scabiei sangat tinggi dan gatal tidak menonjol. Bentuk ini sering salah didiagnosis, malahan kadang diagnosisnya baru dapat ditegakkan setelah penderita menularkan penyakitnya ke orang banyak. Sering terdapat pada orang tua dan orang yang menderita retardasi mental (Down’s syndrome), sensasi kulit yang rendah (lepra, syringomelia dan tabes dorsalis), penderita penyakit sistemik yang berat (leukemia dan diabetes), dan penderita imunosupresif (misalnya pada penderita AIDS atau setelah pengobatan glukokortikoid atau sitotoksik jangka panjang).
E. Diagnosis Banding
Skabies merupakan the great imitator, karena menyerupai banyak penyakit kulit dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingnya ialah prurigo, pedikulosis korporis, dermatitis dan lain-lain. Setiap dermatitis yang mengenai daerah areola, selain penyakit paget, harus dicurigai pula adanya skabies. Skabies krustosa dapat menyerupai dermatitis hyperkeratosis, psoriasis, dan dermatitis kontak.
F. Komplikasi
Bila scabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan, dapat timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, selulitis, limfangitis, folikulitis dan furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecilyang diserang skabies dapat menimbulkan komplikasi pada ginjal, yaitu glomerulonefritis. Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat antiskabies yang berlebihan, baik pada terapi awal atau dari pemakaian yang terlalu sering. Salep sulfur, dengan konsentrasi 15% dapat menyebabkan dermatitis bila digunakan terus menerus selama beberapa hari pada kulit yang tipis. Benzilbenzoat juga dapat menyebabkan iritasi bila digunakan 2 kali sehari selama beberapa hari, terutama disekitar genetalia pria. Gamma benzene heksaklorida sudah diketahui menyebabkan dermatitis iritan bila digunakan secara berlebihan.
G. Pengobatan
Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan seksnya. Ada bermacam-macam pengobatan antiskabies:
1. Benzena heksaklorida (lindane)
2. Sulfur
3. Benzilbenzoat (crotamiton)
4. Monosulfiran
5. Malathion
6. Permethrin